Lebaran di Perancis

Lebaran di Perancis

Senin, sehari sebelum Lebaran

“Lebaran sebentar lagi”, saya masih teringat dengan lagu itu. Lagu yang selalu disenandungkan di radio-radio ketika idul fitri akan tiba. Hari ini hari senin, adalah H-1 lebaran di Perancis. Tidak sabar rasanya menunggu esok hari, ingin mengetahui seperti apa lebaran di negeri mode ini.

Malam ini adalah malam takbiran tentunya. Magribnya saya pergi ke sebuah masjid. Selain buka puasa bersama dengan jama’ah di masjid itu, saya ingin mengkonfirmasi apakah di masjid ini akan diselenggarakan sholat idul fitri berjama’ah esok hari.

Sebentar lagi buka puasa. Pengurus masjid membagikan tajil pada semua jama’ah. Korma, roti, susu murni, air putih adalah pilihannya. Terserah mau pilih yang mana, terserah mau sebanyak apa. Gratis!

Sound system dinyalakan, sang muadzin dengan takzim mengumandangkan adzan. Suaranya berputar-putar di dalam masjid, terpantul-pantul pada dinding-dinding dan melayang di atas karpet masjid yang berwarna merah. Dinding dan karpet seolah ketakutan. Ketika suara adzan melewati mereka, dengan segera mereka menerkamnya, merengkuhnya sekuat tenaga agar kumandang adzan tak terdengar dunia luar. Ya.. mereka tahu, di negeri yang penuh kebebasan ini dimana majalah semacam playboy saja dijual bebas, terdapat sebuah larangan mengumandangkan adzan terdengar sampai ke luar masjid. Ironis.

Usai berbuka, saya bertemu dengan seorang teman. Satu-satunya teman yang saya kenal di masjid itu, Qodho namanya. Seorang Bapak beranak 4, turunan Algeria, negerinya Zinendine Zidane. Saya tanya apakah akan ada sholat idul fitri esok hari. Beliau mengajak saya untuk bertanya pada sang imam masjid. Sayup-sayup saya mendengar dari sang imam,“insyaallah”. Senang sekali mendengarnya, karena saya tidak harus pergi ke masjid besar yang letaknya lebih jauh.

Malamnya, saya tidak takbiran di masjid itu. Tidak seperti di Indonesia, di sini udaranya dingin sekali. Dan kalau saya takbiran, itu berarti saya harus pulang jalan kaki 1 km dari masjid sampai residence. Kenapa? Karena tram hanya sampai pukul 20.30, sedangkan isya di sini pukul 21.30. Saya tidak enak kalau harus sampai merepotkan Qodho lagi mengantar saya ke residence pakai Peugeot-nya.

Di residence, saya buka Compaq Presario, laptop yang sudah menjadi teman selama 1,5 tahun. Saya buka beberapa milis. Hmm… disitu dikatakan, bahwa Indonesia, Malaysia dan beberapa negara Asia Tenggara akan merayakan idul fitri pada hari Rabu. Tapi negara-negara eropa seperti Belanda, Perancis dan sekitarnya akan mengikuti Saudi Arabia, idul fitri pada hari selasa. Sehari sebelum Indonesia.

Saya duduk. Merenungi apa yang sudah dijalani selama satu bulan ini. Ramadhan yang jauh berbeda dengan Ramadhan yang pernah saya alami selama ini. Sekarang pun, di malam menjelang idul fitri, hanya suara lalu lalang mobil yang terdengar. Tak ada takbir, tak ada tahmid, tak ada tahlil. Sepi

Hari Lebaran yang dinanti
Saya agak terlambat bangun waktu itu. Setelah sholat shubuh, dan persiapan berbagai hal, saya bergegas ke masjid itu. Baru kali ini lebaran saya membawa ransel dan buku. Habis bagaimana lagi, sehabis sholat ied, saya harus kuliah di kampus. Dingin sekali pagi ini, lebih dingin dari ciwidey sepertinya.

Saya berlari menuju ke masjid. Takut terlambat karena saya tidak tahu jam berapa sholat ied akan diselenggarakan. Sang imam semalam tidak bilang jam berapa sholat ied dimulai. Kalau pas waktu “terbit matahari”, sepertinya masih keburu.

“Fiuh, … tinggal satu blok lagi. Ayo cepat, nanti terlambat. Hehe, siapa tahu ada makan gratis. Apalagi ini hari raya, tentu saja menunya lebih spesial. Buka bersama saja menunya biasanya sup daging sapi, hmm… hari raya bisa-bisa sup daging unta hehe”, bisikku dalam hati.

“Ya, sampai. Hah… kok sepi ya? Kok pintu masjidnya dikunci ya? Mana jama’ah? Mana takbiran? Mana sholat ied? Kok gak ada ya…?”, beribu-ribu pertanyaan menghujani tak kenal henti. Seolah tak percaya dengan apa yang tampak di depan mata. “Tidak bisa, udah jauh-jauh datang masa gak ada sholat ied”.


Dengan segera saya melaju ke masjid yang lebih besar. Jaraknya seperti dari Ciwaruga ke Masjid Luqmanul Hakim. Saya berjalan setengah berlari, sambil berusaha meyakinkan diri bahwa hari ini adalah hari idul fitri. Saya juga teringat dalam jadwal ramadhan yang dibagikan di masjid situ. Di jadwal disebutkan bahwa Ramadhan cuma 29 hari, berarti idul fitri ya hari ini. Tidak mungkin salah. Hari ini adalah idul fitri.“Mungkin karena masjid tadi tidak terlalu besar, jadi tidak jadi diselenggarakan sholat ied”, pikir saya.

Kompleks masjid sudah terlihat. Masjid yang pertama kali kutemui di kota Saint Etienne. Letaknya dekat dengan tambang batu bara. Kebayangkan jauhnya. Hmm…tapi ada yang aneh. Biasanya kalau jum’atan ada mobil-mobil jama’ah lewat. Tapi di pagi yang lebih istimewa ini tidak ada mobil ya. Saya semakin khawatir.

Dan Allah SWT menjawab sesuai dengan persangkaan hambanya. Pintu masjid besar itu dikunci, rapat dengan gembok segede Gaban. Masyaallah.

Sungguh lebaran yang aneh…..
Gak ada takbiran,
gak ada sholat ied berjamaah,
gak ada salam-salaman,
gak ada ketupat,
Pokoknya semuanya gak ada deh…

Jadi pengen pulang kampung, tapi gak mungkin karena tiketnya saja seharga 4 bulan gaji.
Mungkin ini ujian dari Allah. Kali ada salah niat. Kali pas Ramadhan kurang diisi dengan hal-hal yang bermanfaat. Astagfirullah.

Setelah itu saya berjalan menuju kampus. Sendiri. Hanya dingin yang menemani sepi. --end--


Priyanto

0 Response to "Lebaran di Perancis"

Posting Komentar