MARYAM
Judul: Maryam
Pengarang: Okky Madasari
ISBN: 978-979-22-8009-8
Tebal: 275 hal (soft cover)
Terbit: Februari 2012 (Cetakan 1)
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
“Tentang mereka yang terusir karena
iman di negeri yang penuh keindahan”
Sepenggal kalimat yang menjadi
jargon, menggambarkan keseluruhan isi dari novel yang mengusung topik
diskriminasi kaum minoritas di negeri yang katanya berpaham demokrasi. Topik
sensitif yang tidak akan pernah ada habisnya untuk diangkat, karena
diskriminasi merupakan permasalahan yang berkaitan dengan eksistensi suatu
golongan manusia. Diskriminasi kerap terjadi dari negara berkembang hingga
negara yang notabenenya maju. Hal inilah yang dicoba diangkat oleh penulis.
Menuangkan ide-idenya yang berisi kritik, gagasan, dan saran terhadap
permasalahan kemanusiaan melalui sastra.
Gagasan-gagasan penulis disampaikan
melalui peran Maryam. Maryam sebagai perempuan cerdas, berpenampilan apik, dan
berkepribadian menarik yang terlahir sebagai minoritas. Menjalani kisah hidup
yang umum dialami oleh perempuan seusianya, jatuh cinta, patah hati,
kegelisahan, meragu, amarah, serta mempertahankan haknya. Penulisan dengan
sudut pandang ketiga, penulis dapat menuangkan segala argumentasinya, membuat karakter
Maryam sebagai representasi kaum minoritas terasa kuat.
Kekuatan
penceritaan dirasakan oleh saya sebagai pembaca dimulai dari bab awal. Gaya
bahasa yang menarik, berbeda dari penulisan penulis fiksi yang sedang top di Indonesia saat ini. Penceritaan
peristiwa dan tempat yang sangat detail, seperti pelaporan berita di
koran-koran yang sedikit terkesan kaku menambah kesan nyata yang mempengaruhi
emosi saya sebagai pembaca.
Setelah
dicari info lebih lanjut mengenai penulis, penulis adalah lulusan Hubungan
Internasional serta pernah bekerja sebagai wartawan. Penulisan ‘gaya’ wartawan
tersebut masih sangat kental mempengaruhi gaya penceritaan pada novel
maryam-nya ini. Gaya penulisan yang menurut saya sedikit kaku tetapi secara
lugas dapat dituangkan mengalir melalui tulisan. Kosa kata penulis yang kaya
dapat dirasakan ketika membaca, tak sedikit saya berhenti sejenak berpikir
untuk mencerna apa yang ingin disampaikan oleh penulis. Penjabaran letak ataupun posisi lokasi dengan
gayanya sebagai seorang wartawanpun masih terasa hingga akhir novel yaitu
dengan penggambaraan keadaan di gedung transito sebagai tempat pengungsian.
Maryam
terlahir sebagai seorang Ahmadi. Sebuah brand
yang secara otomatis melekat pada diri Maryam, yang harus diikuti segala
aturannya. Melakukan pembiasaan bahwa dia termasuk Ahmadi, kelompok kaum
minoritas yang memiliki keyakinan sendiri, yang dianggap menyimpang dari orang
kebanyakan. Penekanan pendapat penulis mengenai ‘apakah salah terlahir sebagai
seorang Ahmadi?’ kurang dilengkapi dengan fakta-fakta mengenai mengapa
Ahmadiyah itu sendiri ada. Asal muasal Ahmadi hanya disampaikan sekilas saja,
serta rutinitas keseharian Ahmadi yang menurut saya sebenarnya sama dengan
Agamanya berasal yaitu Islam yang bernabikan Muhammad SAW. Perbedaan hanya
terletak keeksklusifan mereka dalam beribadah yaitu hanya dengan sesama saja
selain Ahmadi memang mengamini nabi terakhir selain Nabi Muhammdad SAW.
Cerita
yang bermula dari kembalinya Maryam kepada keluarga Ahmadinya dikarenakan kisah
cinta maryam dengan pria non-ahmadi
yang kandas hingga memutuskan ikatan pernikahan yang telah diikrarkan.
Kembalinya maryam kepada keluarganya dikisahkan dengan berbagai konflik batin
antara rasa malu tentang kegagalan, rindu karena telah memutuskan tali keluarga,
dan marah karena ketidakberdayaan. Dilanjutkan dengan pernikahannya yang kedua
dengan pria ahmadi pilihan orang tuanya. Pertentangan batin tersebut terasa
ketika penulis menuliskan flashback mengenai
alasan-alasannya menikah, bercerai, meninggalkan agamanya. Alur cerita yang
maju mundur memainkan perasaan pembaca juga. Terdapat satu pesan dalam bagian
ini yaitu seorang perempuan Ahmadi juga sama dan tidak ada bedanya dengan
perempuan lainnya. Baik dari segi psikologis, pemikiran, dan perilaku.
Kehidupan Maryam setelah pernikahannya yang
kedua nyaris sempurna. Suami yang baik, mapan, seiman, serta keluarga besar
yang saling menyayangi dan mendukung. Akan tetapi semua itu tidak akan pernah
bisa berlangsung lama. Sebagai kaum minoritas Maryam akan selalu mengalami
kecaman, penghinaan, bahkan pengusiran besar-besaran dari tanah miliknya seperti
pengusiran yang pernah dialami oleh orang tuanya sewaktu ia pergi dulu, bahkan
jauh lebih parah. Semua itu terjadi karena mereka Ahmadi berbeda, berbeda dari
orang kebanyakan.
Jika
dilihat dari sumber hukum di Indonesia
mengenai beragama yaitu salah satu contohnya UUD 1945 pasal 28E yang berisi :
(1)
|
Setiap
orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan
pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat
tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
|
(2)
|
Setiap
orang atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap,
sesuai dengan hati nuraninya.
|
Isi
pasal 28 E tersebut sudah jelas menyatakan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut
agamanya.
Begitupula dengan jemaat Ahmadiyah, bebas meyakini agamanya. Akan tetapi MUI
(Majelis Ulama Indonesia) sebagai institusi yang mengeluarkan fatwa untuk Agama
Islam, menyatakan bahwa Ahmadiyah sesat dan tidak diakui di Indonesia dan di
Agama Islam itu sendiri.
Legistimasi
hukum tersebut menjadikan alasan para warga untuk berbuat semena-mena dan
brutal terhadap kaum Ahmadi. Padahal, Islam adalah agama penyelamat yang bisa menciptakan perdamaian. Seolah-olah
dengan adanya pernyataan bahwa Ahmadiyah sesat menjadi legistimasi para warga
untuk bersikap diskriminatif terhadap Ahmadiyah. Kesalahkaprahan ini bisa
terjadi karena ilmu para warga yang belum mumpuni, sehingga mendasarkan ilmu
dan pemahaman yang tidak seberapa ditambah emosi diubun-ubun serta provokasi
dari orang yang tidak bertanggungjawab menghasilkan kebrutalan yang sangat
tidak berprikemanusiaan.
Pesan kemanusiaan disampaikan melalui tokoh Maryam,
dimana dia sebagai mantan Ahmadi tetap hidup berdampingan dengan Orang tuanya
yang Ahmadi. Maryam yang memperjuangkan hak-hak jemaat Ahmadi walaupun sudah
bukan Ahmadi lagi, patut dijadikan contoh dalam sikap saling menghargai dan
menghormati antara Makhluk ciptaan Tuhan yang berbeda keyakinan. Walaupun
berbeda tidak seharusnya menimbulkan tindak kebrutalan. Akan tetapi keputusan
Maryam yang memberikan nama anaknya yang jauh dari nama Arab dengan alasan
biarlah jauh dari agama asalkan hidup damai dan tentram. Menurut saya, hal
tersebut bukanlah solusi yang cerdas keputusan tersebut seolah-olah Maryam
melarikan diri dari suatu permasalahan hidup.
Akhir novel dikisahkan dengan sepenggal surat
maryam kepada gubernur. Surat yang berisi kritik dan harapan untuk bisa mempertahankan
haknya, untuk bisa hidup tenang. Pada awalnya saya sebagai pembaca saya merasa
tidak puas dengan akhir cerita. Seperti ada yang belum terselesaikan istilahnya
menggantung, tidak jelas akhir cerita mau dibawa kemana. Akan tetapi, setelah ditelaah lagi
permasalahan mengenai keyakinan memang sangat kompleks. Tidak hanya sekedar
keputusan meninggalkan atau ditinggalkan tetapi terdapat hubungan antara
hubungan manusia dengan Tuhannya yang siapapun tidak mengetahui kebenarannya
secara mutlak. Permasalahan kemanusiaan yang akan terus berlanjut selama
manusia masih hidup. Hanya saja permasalahan kemanusian yang ada, bisa
dijadikan penilaian terhadap kualitas manusia itu sendiri.
0 Response to "[Resensi Novel] MARYAM"
Posting Komentar