[Resensi] Novel Bidadari-Bidadari Surga

 BIDADARI-BIDADARI SURGA


"PULANGLAH. Sakit kakak kalian semakin parah. Dokter bilang mungkin minggu depan, mungkin besok pagi, boleh jadi pula nanti malam. Benar-benar tidak ada waktu lagi. Anak anakku, sebelum semuanya terlambat, pulanglah...."
           

Dua ratus tiga karakter sms tersebut menjadi titik pangkal cerita dari kisah ini. Pesan yang dikirim ke empat penjuru dunia atau mungkin 2 benua, yang menjadi bom atom yang meledakan dan membangkitkan kenangan masa lalu, mengemosionalkan kondisi masa kini, dan berharap-harap cemas takdir di masa depan.
            Tere Liye ternyata merupakan salah satu tokoh novelis pria yang sedang naik daun dengan novel-novel agamis-family-nya. Sudah  banyak karya yang ditelurkan oleh beliau. Dari tulisan-tulisan beliau yang mendetail, menyentuh, dan mengaduk-aduk emosi pembaca, saya menyangka beliau adalah seorang novelis perempuan, karena jarang sekali novelis laki-laki menggunakan daya pikat kata-kata dan kisah manis yang mengharu-birukan pembaca.
            Bidadari-bidadari surga menyuguhkan cerita kekuatan cinta, pengorbanan, dan kerja keras yang dibangun disebuah keluarga. Menceritakan kisah 5 bersaudara, dimana cerita dimulai dengan 203 karakter sms yang mengabarkan kondisi kritis si sulung yang dikirimkan oleh mamak kepada keempat adiknya yang lain yang berada ditempat yang berbeda-beda. Di tempat meraka telah meraih kesuksesan, tempat dimana passion mereka berada. Keempat bersaudara itu adalah Dalimunte seorang ahli fisika yang sedang menjadi pembicara dalam acara symposium internasional ketika menerima sms tersebut, sedangkan Ikanuri dan Wibisana berada dalam perjalanan bisnisnya di Eropa dan terakhir Yashinta si bungsu pecinta alam yang sedang  melakukan penelitian untuk pelestarian burung alap-alap kawah di puncak Gunung Semeru.
            Mengisahkan perjuangan perjalanan keempat bersaudara kembali ke kampung halaman. Berjuang untuk sesegera mungkin menemui kakak sulung terkasih mereka, yang sedang sekarat melawan penyakit kanker paru-paru yang sudah kronis.  Perjalanan mereka ke Lembah Lahambay diwarnai dengan terbangkitkannya  kenangan-kenangan dengan kakak sulung mereka, Kak Laisa. Sosok kakak tegar, rela mengorbankan apapun demi adik-adiknya yang ia cintai. walau dia tahu, di dalam tubuh mereka tidak mengalir darah yang sama, walau dia tahu dia telah mengorbankan masa depannya sendiri. Terputar kembali seolah me-rewind video, tahap-tahap perjalanan mereka dari mereka kecil, dari mereka tidak mengerti apapun hingga mereka telah sukses sekarang ini. Perjalanan tersebut tidak luput bahwa selalu ada Kak Laisa kakak mereka dengan segala keterbatasannya, selalu ada dan mendukung mereka dengan kasihnya walau hanya berperan sebagai tokoh di balik layar.
            Karakter khas yang kuat dapat ditemukan disetiap tokoh. Kekuatan karakter setiap tokoh
diinterprestasikan melalui uraian kata yang menjelaskan sudut pandang tiap  tokoh, respon  terhadap suatu masalah, hingga pola pikir yang berbeda-beda di setiap kepala. Pendeskripsian suatu masalah, tempat, atau objek apapun seringkali disampaikan dengan hiperbolis dan personifikasi hingga mengundang rasa  kagum dan imajinasi yang melimpah ruah bagi pembacanya. Tere Liye seringkali menjelaskan setiap kejadian sedetail mungkin secara unik dan khasnya Tere Liye sehingga jauh dari  menimbulkan rasa bosan akan narasi yang panjang. Tere Liye secara apik mengajak pembaca berpetualang dalam tulisannya dengan alur maju mundur yang cepat. Mengajak pembaca untuk mengenang dan meresapi masa lalu serta menikmati untuk menjalani masa sekarang setiap tokoh.
            Melalui Dalimunte si kecil cabe rawit. Dengan kejeniusan dan  kegigihannya secara tak diduga melalui karya kincir anginnya mampu menggerakkan roda kehidupan dikampungnya menjadi lebih baik lagi. Karyanya seolah-olah telah menjadi gambaran kehidupan di masa depannya yaitu seorang ahli fisika dunia yang cinta keluarga.
            Ikanuri dan Wibisana, si kembar tapi tak kembar. Melalui mereka kita belajar kesenangan, kepercaya dirian, serta  istilah “don’t judge book on the cover” berlaku bagi perjuangan mereka. Lihatlah Ikanuri dan Wibisana, kenakalan mereka membuahkan kreativitas. Siapa sangka, kedua anak kecil dengan segala kenakalannya itu yang selalu menumpang mobil pick up ke kota,, dimasa depan menjadi pebisnis mobil yang tak hanya bisa ke kota bahkan bisa ke Eropa.
            Yashinta, si bungsu manja yang selalu memunculkan binar di mata indahnya ketika melihat anak berang-berang yang sedang bermain di sungai telah menjadi pecinta alam yang juga melestarikan hewan-hewan di masa depan. Si kecil yang sangat mengidolakan Kak Laisa, seorang idealis yang berani mengambil keputusan berkenaan dengan prinsipnya.
            Terakhir, Kak Laisa, seorang kakak yang juga pahlawan bagi keempat adiknya menunjukan bahwa berkorban itu indah, berbuat dengan tulus itu mengasyikan. Berbagi itu nikmat ditengah kekurangan dan keterbatasan. Menunjukan bahwa,kita bisa menjadi bidadari-bidadari surga walau dengan segala penderitaan atau cobaan yang dihadapi di dunia. Kita bisa menjadi bidadari-bidadari surga di akhirat kelak, dengan abadi.
 Dan sungguh di surga ada bidadari-bidadari bermata jeli (Al Waqiah: 22).
 Pelupuk mata bidadari-bidadari itu selalu berkedip-kedip bagaikan sayap burung indah. Mereka baik lagi cantik jelita. (Ar Rahman: 70).
Bidadari-bidadari surga, seolah-olah adalah telur yang tersimpan dengan baik (Ash-Shaffat: 49)
            Novel bidadari-bidadari surga mengajak pembaca membuka mata dan hati tentang keindahan alam Indonesia. Bahwa ada di titik kecil pada peta Indonesia, terdapat tempat dengan alam yang sangat indah. Tempat yang melahirkan pemuda-pemuda Indonesia dengan potensi-potensi luar biasa yang siap digarda terdepan mengharumkan nama Indonesia. Pemuda-pemuda dengan mental sekuat baja, hati selembut kapas, dan otak selicin belut yang lahir dan berjuang  dengan  segala keterbatasan untuk mengejar mimpi mereka, memenuhi passion mereka.
            Untaian kata yang dengan mudahnya membuat kita menyadari bahwa dalam kehidupan kita, kesuksesan kita terdapat sesosok pahlawan yang menjadi panutan, motivasi, untuk mencapai yang terbaik. Terdapat keluarga yang selalu ada dan menyokong tubuh kita disaat kila lelah. Selalu menyemangati dengan senyum yang selalu menghiasi wajah. Selalu ada kepedulian yang tak pernah padam dimanapun kita melangkah. Bersedia berjalan bersama untuk selalu berjuang. Sebuah keluarga. Family. Ya, keluarga suatu ikatan yang tak bisa putus walau tanpa mengalirnya darah yang sama. Keluarga, membuat mengerti apa artinya pengorbanan dan kepedulian.
      
    
           


0 Response to "[Resensi] Novel Bidadari-Bidadari Surga"

Posting Komentar