Radikalisme Sengaja Dipelihara

Radikalisme Sengaja Dipelihara
RABU, 12 AGUSTUS 2009 06:34

Setelah sekian lama tiarap, bom kembali diledakkan. Hasil dari memelihara radikalisme?

Pagi itu, Jumat (17/7/09), kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan, masih sejuk dan segar. Di kawasan inilah Hotel JW Marriot dan The Ritz Carlton berdiri berdampingan. Lalu lintas di pusat bisnis ini pun masih lengang. Tak heran jika di beberapa sudut jalan setapak di kawasan ini, terlihat beberapa orang sedang berolahraga, lari pagi atau jalan cepat.

Jarum jam baru menunjuk angka 07.30 WIB, ketika di JW Lounge, lantai 1 Hotel JW Marriott, suasana sedikit berbeda. Di restoran yang berdekatan dengan lobby hotel ini, berkumpul 18 petinggi perusahaan multinasional dan nasional. Ada Timothy Mackay (Presiden Direktur Holcim Indonesia), Kevin Moore (Presiden Direktur Husky Oil), Dave Potter (Direktur Eksplorasi Freeport Indonesia), Adrianto Machribie (Penasihat Senior Presiden Direktur PT Freeport Indonesia), dan Noke Kiroyan (Presiden Direktur Kiroyan Partners).



Di situ juga bergabung James Castle, mantan Presiden Kamar Dagang Amerika Serikat di Indonesia. Saat ini, ia menjabat chairman dan pendiri Castle Asia, perusahaan konsultan yang didirikan di Jakarta pada 1980. Perusahaan ini bergerak di bidang strategi advokasi kebijakan, proyeksi ekonomi, resiko politik, dan market-entry. Oleh sejumlah kalangan, James Castle dipercaya sebagai pelobi ulung bagi perusahaan asing yang akan atau sedang berinvestasi di Indonesia.

Acara kumpul para eksekutif ini merupakan perhelatan rutin tiap Jumat pagi yang digelar oleh Castle Asia. Sebelum masuk acara utama, yang akan membahas perkembangan bisnis minyak dan pertambangan, para ekspatriat ini beramah tamah sambil sarapan pagi terlebih dulu. Sedianya, pengamat ekonomi Umar Juoro dijadwalkan sebagai pembicara utama, tapi yang bersangkutan berhalangan hadir. Mereka menempati meja panjang dengan 18 kursi.

Acara belum dimulai, para peserta masih menikmati sarapannya sambil menyeruput minuman hangat. Jarum jam menunjuk angka 07.45 WIB, ketika tiba-tiba terdengar ledakan dasyat. Bom pertama meledak di Hotel JW Marriott. Sepuluh menit kemudian, bom juga menghancurkan Lobby Hotel Ritz Carlton yang berdiri bersebelahan dengan JW Marriott.

Jakarta seakan terhenti sesaat, tapi tak lama. Pasalnya, telunjuk aparat dan siapapun yang mendengar berita pengeboman ini, langsung mengarahkan pada lima huruf sakral ”Islam” sebagai pelaku sekaligus dalang intelektualnya. Dalam tempo singkat, kepolisian langsung menetapkan bahwa bom yang meledak di dua hotel itu adalah ”bom bunuh diri.” Orang yang diduga sebagai pelaku bom bunuh diri pun segera dilansir. Bukti berupa rekaman CCTV pun ditayangkan sejumlah stasiun televisi.

Pertama kali, melalui mulut Abdurrahman Assegaf yang mengaku sebagai habib, aparat menunjuk Nur Said, sebagai orang yang diduga terlibat pengeboman. Nur Said adalah putra pasangan Muhammad Nasir (60) dan Tuminem (57) warga Dusun Katekan, Desa Katekan, Kecamatan Ngadirejo, Temanggung, Jawa Tengah. Ia merupakan alumni Ponpes Al-Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, Surakarta. Masuk tahun 1988 sampai 1994, seangkatan dengan Asmar Latin Sani, pelaku pengeboman JW Marriott pertama, Agustus 2003. Aparat mengklaim, Nur Said memiliki nama lain yakni Nur Hasbi dan Nurdi Hasbi.

Selanjutnya, aparat memunculkan nama lain yakni, Ibrohim. Pria yang bekerja sebagai Florist (perangkai bunga) di Flower Shop Hotel Ritz Carlton ini tiba-tiba menghilang pasca pengeboman. Pria yang sempat tinggal di beberapa tempat di Jakarta ini, terakhir di kawasan Cililitan, Jakarta Timur, saat ini keluarganya (istri dan anak-anaknya) menetap di Desa Sampora, Blok Kliwon, Kecamatan Cilimus, Kuningan, Jawa Barat. Aparat juga menduga bahwa Ibrohim terlibat.

Untuk memastikan keterlibatan keduanya, aparat melakukan tes DNA pada keluarga Nur Said dan Ibrohim. Tes DNA ini untuk mencocokan dengan DNA potongan kepala yang diyakini aparat sebagai pelaku ”bom bunuh diri”. Ternyata, hasilnya nihil. ”Setelah dilakukan tes DNA, hasilnya tidak identik. Artinya, dua jenazah itu bukan Nur Said dan bukan Ibrohim,” tegas Ketua Tim Disaster Victim Identifikasi (DVI) Brigjen Pol Eddy Saparwoko di Media Center Bellagio Mall, Rabu (22/7). Meski begitu, aparat tetap memburu keduanya hingga detik ini.

Kemudian, aparat memunculkan nama lain lagi yakni, Maruto Jati Sulistyo. Ia adalah warga Desa Pakisan, Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Dalam wawancara dengan TV One, Senin petang (27/7), orang tua Maruto, Suyono, mengatakan, putranya yang studi di Fakultas Kedokteran di sebuah perguruan tinggi di Semarang ini, sejak 2006 tak pernah pulang. “Ia ketakutan, karena sejak 2006 dikejar-kejar polisi. Sayangnya, saya tak tahu kenapa anak saya jadi buron polisi. Aparat pun tak pernah menjelaskan pada saya,” tegasnya.

Anehnya, ketika presenter TV One menanyakan pada Suyono, “Apakah orang yang terekam CCTV baik di JW Marriott mapun di Ritz Carlton yang diduga sebagai pelaku pengeboman mirip dengan Maruto?” Pensiunan pegawai Badan Pertanahan Nasional Kota Semarang ini menjawab mantap bahwa orang yang ada di CCTV itu tidak mirip dengan anaknya. “Tidak. Orang yang ada dalam rekaman CCTV itu sama sekali tak mirip dengan anak saya,” tandasnya.

Sebelumnya, aparat juga memunculkan nama lain yakni, Bahrudin Latif. Pemilik Ponpes Al-Muaddib di Desa Pasuruhan, Kecamatan Binangun, Cilacap, Jawa Tengah ini oleh aparat juga diduga terlibat pengeboman di Mega Kuningan. Tapi kerabat, tetangga, dan sebagian besar warga desa menyangkal tuduhan ini. Meski begitu, aparat tetap memburu orang yang diyakini aparat sebagai mertua Noordin M Top ini.

Lantas, apa yang sebenarnya terjadi? Yang pasti, terorisme dalam definisi awalnya (aslinya) adalah ”Kekerasan Bermotif Politik”. Karena itu, seandainya aparat bisa membuktikan bahwa orang-orang yang disebutkan di atas memang terlibat pengeboman di Mega Kuningan, kita tetap tak bisa mengetahui apa sebenarnya motif di balik aksinya ini.

Padahal, kelompok-kelompok ”teroris” legendaris seperti, IRA, ETA, PLO, AMAL, Aum Shinrikiyo, dan beberapa nama lainnya, selalu mengklaim jika melakukan pengeboman atau penyerangan. Tak hanya itu, mereka juga akan mengirim pesan pada dunia tentang tujuan perbuatannya itu. Jadi, setiap ada bom atau serangan langsung ada yang mengklaim bertanggungjawab.

Tapi bom di Indonesia tanpa nama. Tak ada kelompok yang mengklaim bertanggungjawab. Berbagai teror bom sejak Bom Natal 2000 hingga Bom di Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton 17 Juli lalu, ternyata tak ada yang mengklaim bertanggungjawab. Karenanya, pengeboman di Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton tak bisa disebut sebagai terorisme dalam definisi di atas. Apalagi, motif politiknya juga tak jelas.

Tak heran jika kemudian muncul berbagai spekulasi. Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Irfan Suryahadi Awwas misalnya. Ia menduga, polisi bisa saja menjadi bagian dari peristiwa ini. Untuk apa aparat terlibat? Menurut Irfan, untuk memancing orang berkomentar kemudian disimpulkan. ”Lihat rentetannya, penangkapan Saifuddin di Cilacap dan pengejaran Noordin M Top. Tiba-tiba Bom Marriot II meledak. Inisial pelakunya juga sama. Nanti ada evaluasi dalam skenario ini bahwa pelakunya mengarah pada Noordin M Top. Lantas, nama-nama yang dilansir sebagai pelaku adalah orang-orang yang baru direkrut. Jadi sudah diatur skenarionya,” jelas Irfan.

Pendapat senada dikemukakan aktivis Islam Umar Abduh dalam diskusi di Sabili, Kamis (23/7). Ia melihat bahwa bom yang meledak di Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton 17 Juli lalu, secara tidak langsung melbatkan polisi dan oknum-oknum aparat yang tidak bertanggungjawab. Oknum-oknum aparat ini, lanjutnya, bisa saja menggunakan orang-orang Islam yang bisa “dipakai” untuk mengoperasikan bom. Mereka menganggapnya sebagai ijtihad. “Di sini salahnya. Baru mendapat provokasi jihad, baru niat jihad, sudah mengaku sebagai mujtahid,” tambahnya.

Sayangnya, lanjut Umar Abduh, orang-orang yang terprovokasi ini “dipelihara” oleh aparat. Ia lantas mencontohkan; menjelang penangkapan Dr Azahari beberapa tahun lalu, aparat mendatangi rumahnya untuk meminta bantuan melakukan negosiasi dengan sekelompok “aktivis”. Ia bersedia membantu aparat karena ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. ”Akhirnya, saya terjun langsung. Hanya dalam sepekan, saya bisa mendapatkan foto dan video mereka, lengkap dengan pernyataan dan permintaannya pada aparat. Jadi, ternyata semuanya hanya permainan,” jelasnya.

Sementara itu, lanjutnya Abduh, aparat tidak pernah bisa melacak sebagaimana yang mereka publish ke masyarakat. Di sinilah kejanggalannya. ”Masak saya saja hanya dalam seminggu bisa melacak mereka, kenapa aparat tak bisa? Ini semua kan omong kosong. Bukankah aparat memiliki alat dan personil yang jauh lebih lengkap. Ketika saya melaporkan hasilnya, pihak aparat hanya mengatakan, ”Ya, udah, ok cukup, kamu saja yang tahu.” Begitu penyelesaiannya. Akhirnya, saya pun menulis semuanya dalam buku yang sampai hari ini belum saya publish. Saya tulis dan dokumentasikan terus,” tambahnya.

Irfan S Awwas punya pendapat sedikit berbeda. Menurutnya, ketika ditelusuri dari pernyataan Mantan Ketua BIN AM Hendropriyono pasca pengeboman, disitu terkesan adanya stigma dan wujud kemarahan. Ia mengatakan, semua ini harus ditelusuri dari pahamnya yang Wahabi. Terkait pernyataan Presiden SBY, ia melihat, ini merupakan tekanan intelijen asing. Targetnya, agar SBY bersikap keras terhadap kelompok Islam yang ada di dalam koalisi. ”SBY mendapat pesan agar menekan kelompok yang mereka sebut Islam fundamentalis yang cukup bebas di masa reformasi ini,” katanya.

Pertanyaannya, kenapa aparat bersedia melakukan ini? Menurut Abduh, pemerintah melihat bahwa secara politik, kekuatan Islam sudah tidak signifikan lagi. Tidak ada eksistensinya lagi. ”Mereka mencoba dengan bom ini, apakah umat Islam masih bisa bersatu atau tidak? Bisa menolak dituduh sebagai pelaku pengeboman atau tidak?,” Ujarnya. Dan, faktanya, sampai hari ini, sangat sedikit tokoh-tokoh Islam yang melakukan pembelaan. Sebagian besar ikut dalam arus tuduhan menstigmatisasi Islam.

Memang, dalam beberapa potongan sejarah, ada beberapa kasus yang menunjukkan bahwa radikalisme bisa saja sengaja dipelihara. Mereka tetap dijaga eksistensinya untuk suatu saat digunakan demi kepentingan yang lebih besar. Tentu saja, aparat negara dengan segala sistem dan perangkatnya tahu benar posisinya dan siapa saja yang memiliki potensi radikal. Tapi sayangnya, sejauh ini tak nampak usaha maksimal dari pemerintah untuk menetralisir radikalisme yang bisa tumbuh menjadi embrio kekerasan.

Negara seperti Malaysia misalnya, tak hanya menyelesaikan permasalahan terorisme dengan menangkap dan memenjarakan pelakunya. Tapi juga berusaha menuntaskan penyakit dasarnya, bukan hanya mematikan gejala. Para ahli agama, ulama, fuqaha, dan cedekian Islam diundang, duduk bersama dan bertukar pikiran dengan orang-orang yang disebut ”teroris”. Mereka menggali kembali perspektif Islam tentang jihad yang benar dan lurus. Diskusinya terkadang berjalan berbulan-bulan. Tapi hasil yang didapatkan bukan sekadar obat penghilang rasa sakit, tapi ramuan yang bisa mengobati penyakit yang sebenarnya.

Hal ini sebenarnya pernah disampaikan mantan Kepala Detasemen Khusus (Densus) 88 Brigjen Pol (Purn) Suryadarma Salim dalam wawancara di TV One, Selasa (21/7/09). Menurutnya, di negara tetangga kita itu, cara menyelesaikan orang-orang yang terlibat terorisme, tak hanya berhenti dan duduk berdiskusi. Tapi, negara terlibat aktif menutup pintu kemungkinan mereka kembali pada radikalisme. ”Masalah ekonomi diselesaikan, pekerjaan dan kebutuhan hidup juga menjadi perhatian. Termasuk memberikan pendidikan yang layak atau beasiswa untuk menuntut ilmu,” terangnya.

Bandingkan dengan pola dan cara yang ditempuh pemerintah Indonesia. Semua kerja memberantas teroris, hanya dilakukan oleh Densus 88 dan aparat intelijen seperti BIN dan lainnya. Maka, tak dapat dihindari kesan yang muncul hanyalah menyelesaikan kekerasan dengan kekerasan. Para ulama, fuqaha, ahli agama, intelektual Islam, MUI, ormas-ormas Islam dan Departemen Agama tak diterlibatkan. Demikian juga dengan departemen yang mengurus ekonomi dan kesejahteraan seperti, Menko Kesra, Departemen Tenaga Kerja, dan Departemen Sosial, seolah tak memiliki kaitan. Departemen Pendidikan, seharusnya juga mengambil peran untuk membantu mencerdaskan dan meluruskan orientasi mereka.

Alih-alih mengeluarkan kebijakan yang berorientasi untuk menuntaskan masalah terorisme dari akarnya ini, pemerintah (Presiden SBY) justru mengidentikkan pelaku kekerasan untuk kepentingan politik sesaat. Menguatkan legitimasinya di hadapan partai-partai peserta koalisi yang sebagian besar berasal dari partai Islam dan berbasis masa Islam. Sekaligus, menguatkan legitimasinya di hadapan lawan-lawan politriknya.

Padahal, jika pemerintah tak segera mengubah perspektif menangani terorisme secara holistik, sadar atai tidak, pemerintah telah memelihara radikalisme. Kelak, jika sudah matang, pihak lain yang ingin menghancurkan umat Islam dan Indonesia akan memantiknya menjadi teror yang mematikan. Walahu’alam.(Dwi Hardianto)

http://sabili.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=441:radikalisme-sengaja-dipelihara&catid=82:inkit&Itemid=199

0 Response to "Radikalisme Sengaja Dipelihara"

Posting Komentar