Konsep Bersaing

ramuslim - Beberapa waktu lalu, saya sempat tersentak oleh pemikiran sederhana seorang kawan di bilangan Baturetno. Benar, kesederhanaan pikiran ‘kawan’ tersebut membuat saya tercenung beberapa saat, tak henti memikirkannnya hingga berhari-hari lewat.

Saya katakan sekali lagi: sederhana!

Kawan saya tersebut berpikir tentang kebersamaan dalam menggalang kekuatan Islam. Tema ini sebenarnya telah terlalu basi menurut saya. Saya sering mendengarnya, dan begitu sering pula saya kecewa karena konsep kebersamaan biasanya hanya berhenti pada tataran konsep. Banyak orang terlalu enggan untuk mengalah hanya untuk sebuah prinsip yang sepele yang sebenarnya masih begitu mudah untuk ditasamuhi.

Tapi, kali ini saya tertegun. Barangkali karena kesederhanaan itulah lantas saya merasa takjub. Saking sederhananya, kawan saya benar-benar tak mengonsep tentang bagaimana mempertemukan antar-ketua partai Islam dalam satu meja, berdebat membentuk majelis syura... atau apa pun yang serupa dengan itu. Ia juga tidak sedang menyusun sebuah buku yang diformulasikan untuk menyaingi Fi Zhilalil Quran yang menggemparkan itu, atau Fatwa-Fatwa Kontemporer-nya Yusuf Qardhawi yang membuat terkesan jutaan manusia di dunia.

Bukan... sama sekali bukan itu. Kawan saya ini hanya seorang pedagang plastik eceran di pasar Baturetno yang setiap harinya berkeliling pasar menyuplai kebutuhan kantong plastik para pedagang di sana. Kapasitasnya sama sekali tak layak untuk disetarakan dengan tokoh-tokoh kaliber Sayyid Qutb atau Abdullah Azzam (semoga Allah membalas jasa-jasa mereka).

Saya pikir, produk seperti kawan saya ini –termasuk juga saya –tidaklah dirancang zaman untuk melahirkan pemikiran besar atau menjadi kreator sebuah megaproyek semacam reformasi yang pernah melanda negeri ini. Ia hanya seorang lulusan SLTA, tak lebih. Tak ada titel lagi menyertai namanya.

Melihat hal itu, dapat dibayangkan bagaimana konsep praktisnya dalam memandang hidup. Ia tak memiliki latar belakang pendidikan akademik maupun paradigma pemikiran kaum cendekiawan. Dia juga bukan aktivis partai mana pun sehingga saya yakin saat ia berbicara itu tidaklah dalam koridor kampanye dan menyimpan pesan-pesan sponsor, ataupun karena adanya kepentingan terselubung.

Sederhana sekali, ia seorang pedagang plastik lulusan SLTA.

Ketakjuban saya dimulai pada suatu siang sekitar awal tahun 2001. Saat itu, untuk pertama kali saya berkenalan dengannya. Tahun 2001 adalah tahun yang sulit bagi saya dan beberapa rekan yang lain. Hantaman krisis moneter begitu terasa dan rezim baru pasca Soeharto ternyata hanya mengulang kebodohan pendahulunya. Pekerjaan saya tak punya. Bersama beberapa orang rekan, kami mencoba berdagang kecil-kecilan. Yang penting tetap bekerja, itu prinsip kami.

Lantas, ada seorang distributor plastik yang menawarkan kerja sama. Kami bisa mengulak plastik dan membayar kemudian setelah plastik terjual. Ini adalah peluang yang langka mengingat keterbatasan modal –sebuah alasan usang yang tak juga henti menjerat masyarakat kelas bawah.

Dengan semangat dua ribu lima, kami terjun ke pasar, toko-toko pinggir jalan, mencari daerah jajahan masing-masing. Saya menjajaki pasar Baturetno, dan bertemulah saya dengan rekan sederhana yang menakjubkan ini. Kami pun berkenalan.

Ramah sekali ia menerima tawaran saya makan siang itu. Cukup fair, karena saya yang mengajaknya makan, maka tentu saya yang mentraktir. Ini kesepakatan tak tertulis. Mungkin karena kesepakatan tersebut, ia tak berusaha membayar makanan kami. Hal ini tentu tak seperti umumnya orang Jawa yang dijejali dengan aneka basa-basi.

Singkat cerita, sampailah saya pada inti pembicaraan, yaitu keridhaannya apabila saya menjalankan usaha serupa di wilayah yang sama. Sebenarnya tak masalah kalaupun saya langsung saja berjualan di pasar tersebut. Toh, semua itu tidak ada hukum syar’i yang melarang. Hanya saja, saya berpikir, semua ini untuk menjalin ukhuwah, syukur-syukur untuk pengembangan dakwah.

“Saya?” tanya kawan saya itu. “Tersaing?”

Sebuah senyum kecil menghias bibirnya. Matanya redup dalam kesabaran yang memukau. Cerah sekali. Saya melihat ada kebersihan dan cahaya yang indah di sana. Ah, barangkali benar, keimanan itu memancar pada paras setiap mukmin.

“Ya, bagaimanapun, tentu saja saya akan menjadi pesaing Anda.”

Ia menepuk bahu saya. “Kau Islam, kan?”

Kawan saya ini sudah beraku-kau sehingga kesan akrab segera tercipta. Jujur, saya terpesona dengan gaya bicaranya.

“Kenapa harus memandang semacam itu?” lanjutnya. “Oke, kalau aku sih tidak bermasalah. Malah, bagiku, hal ini adalah kemajuan. Ini sebuah keberuntungan. Ini sebuah perluasan.”

“Kok?”

“Begini.... Kalau melihat ini secara individu, tentu aku rugi. Kau tahu, di pasar ini, ada sekitar empat pengecer plastik seperti kita. Satu di antaranya nonmuslim dan satu lagi seorang Islam yang tidak peduli dengan agamanya sendiri. Kalau dihitung, sendi ekonomi dalam sektor distribusi plastik yang dimiliki oleh muslim di pasar ini sebesar lima puluh persen. Satu orang masing-masing memiliki peran sebesar dua puluh lima persen. Kalau ditambah satu orang Islam lagi di sini, masing-masing orang akan memegang peran dua puluh persen. Kalau melihat diriku sendiri, tentu peluangku berkurang dari dua puluh lima persen menjadi dua puluh persen. Tapi, sebaiknya kita melihatnya secara menyeluruh. Berapa persen peran orang Islam sekarang?”

Saya bengong. Pelan-pelan, saya membenarkan kalimatnya.

Subhanallah...! Perbanyaklah orang-orang semacam ini di bumi-Mu, ya Allah!

0 Response to "Konsep Bersaing"

Posting Komentar