IMAN KEKUATAN PENGONTROL

Oleh Abdullah Hakam Shah, Lc



Di antara karunia yang dilimpahkan Allah Swt. kepada manusia, iman merupakan
karunia terbesar bagi kita. Sebab imanlah yang telah menjadikan kita
sebagai umat yang beruntung, yang terpilih, dan memiliki peluang terbesar
untuk memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Allah secara tegas berfirman dalam al-Qur'ân:

"Sungguh beruntunglah orang-orang yang beriman." (Qs. Al-Mu'minûn; 1)
"Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia." (Qs. Alî 'Imrân;
110)
"Dan apakah orang yang sudah mati hatinya, kemudian Kami hidupkan dan Kami
berikan kepadanya cahaya yang terang -yang dengan cahaya itu dia dapat
berjalan di tengah-tengah manusia, (apakah) sama dengan orang yang
keadaannya berada dalam gelap-gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar
dari kegelapan itu?"

Tapi sayang, di antara kita banyak yang kurang serius
memanfaatkan nikmat ini, banyak yang kurang serius untuk memperoleh
kebahagiaan di dunia dan akhirat secara bersamaan. Ada yang hanya serius
berusaha memperoleh kebahgiaan di akhirat semata, dan ada yang hanya serius
memperoleh kebahagiaan di dunia saja. Intinya, keimanan kita seringkali cuma
teori dan basa-basi belaka.

Kalau salah satu merk rokok, yang hanya merupakan kenikmatan duniawi tidak
seberapa, berani mengiklankan diri sebagai: "Bukan basa-basi", layakkah
dalam hal keimanan kita mau berbasa-basi. Iman yang bukan basa-basi adalah
iman yang hidup dan berdaya.. Iman yang mampu menjadi kekuatan penunjuk,
kekuatan penggerak, kekuatan pengontrol, dan kekuatan penyejuk.

Akan tetapi, dari sejumlah kekuatan utama iman ini, yang paling menonjol
adalah fungsinya sebagai kekuatan pengontrol. Iman yang hidup dan berdaya
mampu menghindarkan pribadi yang bersangkutan dari perbuatan jahat,
mengendalikannya dengan tali takwa, dan menjauhkannya dari perbuatan dosa
serta nista. Baik yang tampak maupun tersembunyi.
Imanlah yang selalu membuat hidup seorang mukmin lekat pada
pengawasan Allah Swt., ingat akan perhitungan hari akhir, serta ingat akan
pahala dan siksa. Dengan demikian, iman menjadi pengawas bagi pribadi yang
bersangkutan; mengarahkannya sebelum melakukan perbuatan, menimbangnya
setelah perbuatan, dan mencelanya apabila melakukan penyimpangan.

Iman seperti inilah yang telah mengontrol Nabi Yusuf as.
sehingga mampu menepis syahwat yang terlarang. Padahal ketika dirayu oleh
isteri perdana menteri yang juga tuannya, Nabi Yusuf tengah berada di usia
remaja dan dorongan kelelakian yang kuat. Namun saat rayuan perempuan itu
menjadi-jadi, Nabi Yusuf selalu menghindar dan berkata, "Aku berlindung
kepada Allah, dan sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik."

Ketika gagal merayu Yusuf secara halus, perempuan cantik
tersebut mulai mengancam dengan kasar. Karena menurut hematnya, barangsiapa
yang tidak tergoda oleh bujuk rayu, mungkin akan luluh oleh ancaman. Isteri
perdana menteri yang cantik ini berkata di hadapan perempuan-perempuan
istana: "Sungguh, aku telah menggoda dia untuk tunduk kepadaku, tapi dia
menolak. Namun jika dia tetap menolak, aku akan memenjarakannya, dan dia
akan termasuk golongan orang-orang yang hina."

Akan tetapi, dengan iman yang kokoh dan hidup, Yusuf yang
rupawan tidak bergeming. Ia berlindung kepada Tuhannya seraya berkata:
"Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan
perempuan-perempuan itu. Dan jika tidak Engkau hindarkan aku dari tipu daya
mereka, tentu aku akan cenderung untuk memenuhi ajakan mereka, dan tentulah
aku termasuk orang-orang yang bodoh."

Iman yang mampu menjadi kekuatan pengontrol dapat juga kita
temukan dalam kisah seorang sufi agung, Ibrahim bin Adham. Suatu hari,
Ibrahim bin Adham didatangi oleh seseorang yang sudah sekian lama hidup
dalam kemaksiatan, sering mencuri, selalu menipu, dan tak pernah bosan
berzina.

Orang ini mengadu kepada Ibrahim bin Adham, "Wahai tuan guru,
aku seorang pendosa yang rasanya tak mungkin bisa keluar dari kubangan
maksiat. Tapi, tolong ajari aku seandainya ada cara untuk menghentikan semua
perbuatan tercela ini?"

Ibrahim bin Adham menjawab, "Kalau kamu bisa selalu berpegang
pada lima hal ini, niscaya kamu akan terjauhkan dari segala perbuatan dosa
dan maksiat. Pertama, jika kamu masih akan berbuat dosa dan maksiat, maka
usahakanlah agar Allah jangan sampai melihat perbuatanmu itu."
Orang itu terperangah, "Bagaimana mungkin, Tuan guru, bukankah
Allah selalu melihat apa saja yang diperbuat oleh siapapun? Allah pasti tahu
walaupun perbuatan itu dilakukan dalam kesendirian, di kamar yang gelap,
bahkan di lubang semut pun."

"Wahai kisanak, kalau yang melihat perbuatan dosa dan maksiatmu
itu adalah tetanggamu, kawan dekatmu, atau orang yang kamu hormati, apakah
kamu akan meneruskan perbuatanmu? Lalu mengapa terhadap Allah kamu tidak
malu, sementara Dia melihat apa yang kamu perbuat."
Orang itu tertunduk, "katakanlah yang kedua, Tuan guru!"
"Kedua, jika kamu masih akan berbuat dosa dan maksiat, maka
jangan pernah lagi kamu makan rezeki Allah."
Pendosa itu kembali terperangah, "Bagaimana mungkin, Tuan guru,
bukankah semua rezeki yang ada di sekeliling manusia adalah dari Allah
semata? Bahkan, air liur yang ada di mulut dan tenggorokanku adalah dari
Allah jua."

Ibrahim bin Adham menjawab, "Wahai kisanak, masih pantaskah kita
makan rezeki Allah sementara setiap saat kita melanggar perintahNya dan
melakukan laranganNya? Kalau kamu numpang makan kepada seseorang, sementara
setiap saat kamu selalu mengecewakannya dan dia melihat perbuatanmu,
masihkah kamu punya muka untuk terus makan darinya?"
"Sekali-kali tidak! Katakanlah yang ketiga, Tuan guru."
"Ketiga, kalau kamu masih akan berbuat dosa dan maksiat,
janganlah kamu tinggal lagi di bumi Allah."
Orang itu tersentak, "Bukankah semua tempat ini adalah milik
Allah, Tuan guru? Bahkan, segenap planet, bintang dan langit adalah milikNya
juga."

Ibrahim bin Adham menjawab: "Kalau kamu bertamu ke rumah
seseorang, numpang makan dari semua miliknya, akankah kamu cukup tebal muka
untuk melecehkan aturan-aturan tuan rumah itu sementara dia selalu tahu dan
melihat apa yang kamu lakukan?"

Orang itu kembali terdiam, air mata menetes perlahan dari
kelopak matanya, "Katakanlah yang keempat, Tuan guru."
"Keempat, jika kamu masih akan berbuat dosa dan maksiat, dan
suatu saat malaikat maut datang untuk mencabut nyawamu sebelum kamu
bertobat, tolaklah ia dan janganlah mau nyawamu dicabut."
"Bagaimana mungkin, Tuan guru? Bukankah tak seorang pun mampu
menolak datangnya malaikat maut?"

Ibrahim bin adham menjawab, "Kalau kamu tahu begitu, mengapa
masih jua berbuat dosa dan maksiat? Tidakkah terpikir olehmu, jika suatu
saat malaikat maut itu datang justru ketika kamu sedang mencuri, menipu,
berzina dan melakukan dosa lainnya?"

Air mata menetes semakin deras dari kelopak mata orang tersebut,
"Wahai tuan guru, katakanlah hal yang kelima."
"Kelima, jika kamu masih akan berbuat dosa, dan tiba-tiba
malaikat maut mencabut nyawamu justru ketika sedang melakukan dosa, maka
janganlah mau kalau nanti malaikat Malik akan memasukkanmu ke dalam neraka.
Mintalah kepadanya kesempatan hidup sekali lagi agar kamu bisa bertobat dan
menambal dosa-dosamu itu."

"Bagaimana mungkin seseorang bisa minta kesempatan hidup lagi,
Tuan guru? Bukankah hidup hanya sekali?"
"Oleh karena hidup hanya sekali, Kisanak, dan kita tak pernah
tahu kapan maut akan menjemput kita, sementara semua yang telah diperbuat
pasti kita pertanggungjawabkan di akhirat kelak, apakah kita masih akan
menyia-nyiakan hidup ini hanya untuk menumpuk dosa dan maksiat?"
Orang itu langsung pucat, dan dengan surau parau menahan ledakan
tangis ia mengiba, "Cukup, Tuan guru, aku tak sanggup lagi mendengarnya."
Lalu ia pun beranjak pergi meninggalkan Ibrahim bin Adham. Dan sejak saat
itu, orang-orang mengenalnya sebagai seorang ahli ibadah yang jauh dari
perbuatan-perbuatan tercela.

Demikianlah, betapa indahnya jika kita mampu menjadikan iman sebagai
kekuatan pengontrol. Alangkah nikmatnya bila kita mampu menjadikan iman
sebagai cahaya yang menerangi setiap sisi jiwa dan hidup kita; sehingga kita
mampu menjalin hubungan yang mesra dan harmonis dengan Allah Sang Pencipta,
diri kita sendiri, serta lingkungan di sekeliling kita.

0 Response to "IMAN KEKUATAN PENGONTROL"

Posting Komentar