SETO

SETO

Hari itu saya kehilangan seseorang yang sangat saya cintai selamanya. Eyang putri tiba-tiba meninggal. Saya sedih sekali. Sementara hampir semua wajah yang saya temui pagi itu tampak mendung dan pilu. Banyak pula yang masih berlinang air mata.
Dengan pandangan yang masih berkaca-kaca saya bermaksud menenangkan diri di ruang tengah, rumah Eyang Putri. Tak satu pun orang di sana. Hanya ada Seto, sepupu saya, yang langsung tertawa begitu melihat kehadiran saya.

"Ja...ngan...se...dih," kata Seto terbata-bata menghibur saya, masih sambil tersenyum. "Seto...ju...ga...kehi...la...ngan...."
Airmata saya tiba-tiba kembali meluncur deras tanpa mampu saya tahan. Saya sangat kehilangan Eyang Putri, orang yang sangat baik dan penuh perhatian itu.
"Me...ngapa...me...nangis?" tegur Seto lagi. "Eyang putri tidak kemana-mana, ia hanya...kembali...pada Allah...."


Saya memandang Seto dan bertemu dengan pandangan seorang kanak-kanak berusia tiga belas tahun. Matanya yang bulat, mulutnya yang melebar dan air liur yang selalu menetes dari sana. Di dadanya ada sematan sapu tangan, agar air itu tak membasahi bajunya. Kedua tangannya menekuk tanpa daya, juga kedua kaki kecil yang tak pernah mampu menyanggah badannya yang bungkuk. Ke mana pun ia harus digendong, bahkan untuk buang air. Minum atau memakan makanan kecil sekali pun ia harus disuapi. Hidupnya sangat tergantung pada orang lain.

Seto lahir dengan kondisi seperti itu. Tetapi berbeda dengan anak-anak seperti dia, Seto selalu bersemangat dan optimis. Di SLB-nya Seto termasuk paling cerdas dan di kalangan kami ia terkenal sebagai seorang yang sangat pandai menghibur dan beradaptasi dengan siapa pun. Ia tak pernah mengeluh, hanya tersenyum dan tertawa menghadapi apa yang disebut orang sebagai takdir kehidupan.

Saya dekati Seto perlahan. Saya usap kepalanya. "Kamu benar, To. Eyang Putri memang tidak pergi kemana-mana...."

Seto tersenyum dan menghibur saya lagi. Saya terharu, sebab ia harus berjuang keras untuk setiap kata yang keluar dari mulutnya. Seto harus menggerakkan mulut sedemikian, sementara hasilnya terdengar seperti suara orang yang menguap sambil berbicara.
Sungguh, saya belum pernah menemukan orang dalam keterbatasan, yang lebih bersyukur dengan keadaan dirinya, serta tak pernah berhenti menyenangkan orang lain, seperti Seto.

"Seto tahu kalau Seto adalah anak yang baik? Seto tahu Allah sangat sayang pada Seto?" tanya saya suatu hari.
Ia mengangguk berkali-kali dengan mata berbinar. "Allah...itu...baik...sekali..., Seto...sangat sayang...Allah...."

Helvy Tiana Rosa

0 Response to "SETO"

Posting Komentar