Singgasana Allah bergetar karena kematiannya

AlDakwah.org--Umat Islam dalam kondisi yang sangat mencekam. Perang demikian menakutkan. Suhu udara begitu dingin menembus tulang sumsum. Di samping itu, kejiwaan Rasulullah SAW dan para sahabat mengalami tekanan psikologis yang sedemikian berat. Betapa tidak, madinah benar-benar dikepung dari berbagai penjuru. Lobi Yahudi berhasil memobilisasi enam ribu pasukan dari Bani Ghathafan dan tiga ribu lainnya dari musyrikin Quraisy.


Dalam keadaan kritis seperti ini, situasi semakin bertambah genting. Datang laporan pengkhianatan Bani Quraidzah. Sa'ad bin Mu'adz, bersama tim investigasi kedua, terpaksa mengabarkan Rasulullah SAW berita memedihkan; benteng terakhir di bagian selatan yang dihuni Yahudi Bani Quraidzah sudah beralih menjadi pintu masuk pasukan musyrikin. Dengan tegar Rasulullah SAW menghadapi kenyataan pahit ini.

Setelah berifikir keras, beliau mengambil inisiatif untuk berunding dengan Bani Ghathafan. Dua orang pemimpin Ghathafan menanggapi positif tawaran yang diajukan Rasulullah SAW.

Dalam riwayat Al Waqidi, disebutkan kisah itu. Rasulullah SAW menawarkan, "Bagaimana jika engkau kuberi sepertiga hasil buah-buahan kota madinah." Mereka berdua menimpali, "Kami ingin setengahnya." Tapi Rasulullah SAW menolak permintaan itu. Akhirnya mereka berdua menyepakatinya. Lalu datang kembali bersama sepuluh delegasi ketika perundingan mendekati hasil final, akan tetapi Rasulullah SAW tidak langsung menggolkan perundingan ini. Beliau tetap menyempatkan bermusyawarah apapun kondisinya.

Dalam situasi yang diliputi rasa cemas, semangat para sahabat hampir luluh lantak. Apalagi kenyataan di lapangan terlihat orang-orang munafik menarik mundur dari medan peperangan.

Namun, tiba-tiba sebuah untaian kalimat melesat bak cahaya dalam kegelapan langit jiwa kaum mukminin saat itu, "Wahai Rasulullah SAW, apakah keputusan ini inisiatifmu sendiri, atau wahyu dari Allah SWT?" Rasulullah SAW menjawab, "Ini semua inisiatifku sendiri. Demi Allah, aku terpaksa melakukannya karena kusaksikan kekuatan bangsa Arab begitu banyak dan kuat. Aku ingin meminimalisir gencarnya gempuran musuh."

Dengan penuh keyakinan, untaian kalimat cahaya tadi kembali mengalir tenang dan tegas, "Wahai Rasulullah, dahulu kami dan mereka sama-sama hidup dalam kemusyrikan, menyembah berhala dan tidak mengenal Allah. Lalu apakah setelah kami mulia bersama Islam, kami gadaikan harta kami? Kami tidak butuh belas kasih mereka. Demi Allah, yang kami berikan hanyalah pedang hingga Allah lah yang akan menentukan; kami atau mereka yang pantas hidup mulia."

Rasulullah SAW takjub seketika. Kalimat ini benar-benar menggetarkan. Kata-kata yang menampilkan kebesaran jiwa pengucapnya. Kata-kata yang mampu menggugah kesenduan, menjadi penyejuk hati, dan mengoyak keputusasaan. Sebuah kalimat yang diharap dan dinanti-nanti.

Kita kembali diingatkan peristiwa tiga tahun silam, ketika Rasulullah SAW dalam kondisi tertekan dihadapkan pada dua pilihan; terus berada di Badar atau pulang ke Madinah. Melihat kenyataan yang jauh dari perkiraan, pasukan penghadang kafilah mesti berubah menjadi pasukan perang.

Secara matematis, umat Islam hanya bisa memilih; terus maju lalu mati konyol, atau kembali ke Madinah sambil menyandang gelar "Umat Pengecut." Ketika perasaan berkecamuk, lagi-lagi dengan tiba-tiba, kalimat-kalimat cahaya mengalir sejuk, menjadi penawar kesedihan hati Rasulullah SAW, karena beliau saw memang sudah menanti-nanti keluarnya ucapan ini, "Demi Allah, nampaknya engkau menghendaki ketegasan sikap kami, wahai Rasulullah?" Beliau menyahut, "Ya, benar." "Wahai Rasulullah SAW, jalankanlah apa yang engkau kehendaki, kami tetap bersamamu. Demi Allah, jika engkau menghadap ke lautan lalu terjun ke dalamnya, kami pasti akan terjun bersamamu. Seorang pun di antara kami tak akan mundur "

Lelaki ini adalah Sa'ad Bin Mu'az, pemimpin suku Aus. Beliaulah pemilik kata-kata cahaya yang selalu menggetarkan. Beliau memperoleh syahadah (mati syahid) pada usia tiga puluh tujuh tahun. Seusai perang Ahzab, beliau menderita luka parah. Urat nadi di lengannya tertusuk anak panah seorang musyrik. Darah menyembur dari pembuluhnya.

Dalam keadaan kritis, beliau berdo'a, "Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui, bahwa yang paling ingin kuperangi hanyalah golongan yang mendustakan Mu dan mengusir Mu. Ya Allah, jika masih ada kesempatan memerangi kafir Quraisy, maka panjangkanlah umurku hingga aku memeranginya."

Allah SWT mengabulkannya, hingga pada perang bani Quraidzah, Rasulullah SAW menyerahkan keputusan nasib Yahudi Quraidzah kepadanya. Meskipun sukunya adalah serikat Bani Quraidzah, tapi hubungan apapun bentuknya menjadi tidak berharga tanpa ikatan akidah.

Setelah memberi keputusan, Sa'ad kembali mengangkat tangannya memohon untuk kedua kalinya, "Ya Allah, seandainya Engkau telah mengakhiri perang, maka semburkanlah darah luka ini, hingga aku syahid dengan sayatan panah ini."

Maka Allah SWT kembali memenuhi permohonan hambanya yang shalih ini. Malam itu juga darah memuncrat dari luka panah itu. Dan Sa'ad menemui ajalnya.

Pada saat jenazah Sa'ad digotong, orang-orang munafik saling berbicara, "Oh, ringan sekali jasadnya." dan itu hasil obyektifitasnya dalam menjatuhkan hukuman kepada Yahudi Quraidzah. Ketika kabar ini terdengar, Rasulullah SAW berkata, "Malaikatlah yang menggotong jasadnya."

Di lain pihak, sahabat Jabir ketika menyaksikan pemandangan pilu itu, mendengar Rasulullah SAW mengatakan, "Sungguh, singgasana Allah bergetar dengan kematian Sa'ad."

Ya Allah, karuniakanlah kami kekuatan kepribaian yang menggetarkan sebagaimana Engkau telah berikannya kepada sahabat mulia Sa'ad bin Muadz, Amin.

0 Response to "Singgasana Allah bergetar karena kematiannya"

Posting Komentar