URGENSI SYURO DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN

http://eddysyahrizal.blogspot.com

Makalah Daurah Kaderisasi II UKMI Ar-Royyan UNRI, Ahad 27 Juli 2008

Muqaddimah
“ Tidak keliru yang istikharah, dan tidak rugi yang bermusyawarah.....” (al Hadits)

Kedewasaan Sikap

Kedewasaan baik secara individu ataupun kolektif, sangat ditentukan oleh sebuah kata yang bernama sikap. Kematangan ditentukan oleh baik-buruknya sikap yang ditunjukkan dalam menghadapi persoalan dan tantangan. Dalam hal ini, dunia politik merupakan wilayah yang kontradiktif: di satu sisi kita dituntut untuk sangat dewasa, namun di sisi lain kedewasaan dalam penyikapan adalah suatu hal yang luar biasa sulit. Resikony sangat besar, tantangannya sangat banyak, dan persoalannya sangat memusingkan. Tapi inilah yang menjadi ajang eliminasi politisi, pemimpin, dan sebuah pergerakan.

Penilaian akan mutu sebuah penyikapan politis adalah hasil measure iindikator-indikator ketepatan, efektivitas, dan konsistensi dari sikap yang diambil tersebut.

Ketepatan berkaitan dengan momentum, situasi, tempat, orang, dan iklim penerapan keputusan tersebut. Ini adalah sebuah kolaborasi yang indah dari kebenaran dan presisi.

Efektivitas terkait langsung dengan ketepatan, namun lebih banyak berbicara bagaimana mewujudkan sebuah keputusan yang tepat menjadi realita. Dan ia terkait dengan hal-hal teknis[1].

Konsistensi, merupakan garis batas yang dengan tegas memisahkan antara idealisme dan pragmatisme. Membangun sebuah konsistensi merupakan upaya yang sulit, mengingat keputusan tidak selamanya tepat atau langsung tepat.

Nilai Kebenaran

Kebenaran yang menjadi isi pokok sebuah keputusan sangat terkait dengan referensi, metoda dan proses. Mengenai referensi, kita tidak akan pernah ragu untuk selalu mengedepankan syari’ah: Al Qur’an dan Sunnah. Dalam pada itu, metode yang kita terapkan adalah ijtihad. Ijtihad yang “luas”, tidak jumud. Ijtihad yang mampu menampung dan memadukan dua hal sekaligus : “fiqh wahyu” dan “fiqh waqi’” (realitas). Ijtihad pada hakikatnya adalah mengejawantahkan kebenaran wahyu dalam kebenaran realitas. Maka titik tekan ijtihad kita adalah mashlahat, seperti kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: “di mana ada kemashlahatan bagi manusia, di sana pasti terdapat syari’at Allah SWT”.

Perlu diingat bahwa tolak ukur kemashlahatan sangat relatif, abstrak, intangible. Namun ia dapat dikira-kira, diasumsikan dengan berbagai data, fakta-fakta, pertimbangan, dan perimbangannya dengan idealita yang kita maksudkan. Sehingga zhann yang kita anut adalah asumsi yang rajih, kuat.

Setelah selesai urusan referensi dan metode, elemen akhir yang terdapat dalam rahim kebenaran adalah proses yang tepat. Ini sekaligus berbicara tentang lembaga pengambilan keputusan itu sendiri. Inilah yang kita sebut dengan syuro. Kemashlahatan yang menjadi tujuan harus melalui asumsi dasar yang kuat, merujuik kepada realitas , rasionalitas dan idealitas. Tentu saja akal kolektif lebih baik dari akal individu. Seperti dikatakan Rasul SAW, “Tidak keliru yang istikharah, dan tidak merugi yang bermusyawarah”

Resiko Syuro

Namun “ber-syuro” tidaklah segampang membalikkan telapak tangan. Resiko politis setiap keputusan sangat layak menjadi pertimbangan. Tugas pokok syuro untuk mendefinisikan mashlahat ‘ammah atau mudharat yang sifatnya asumtif, membuatnya tak lepas dari resiko kesalahan, atau kebenaran yang tidak bertahan lama. Syuro yang tidak bermutu, akan kehilangan ketepatan dan hikmah yang merupakan syarat dasarnya.

Syarat Syuro yang Benar

Sebagai upaya untuk meminimalisir kesalahan tersebut, para pendahulu kita dari generasi terbaik umat ini telah mencontohkan bagaimana syuro yang benar, dan jika kita lihat makna implisit tersebut ada tiga poin yang bisa dijadikan pegangan.

Pertama, sumber informasi yang jelas, lengkap, tepat, akurat. Informasi yang setengah-setengah akan merancukan sikap dan mengacaukan analisa. Kedua, kedalaman ilmu anggota syuro yang memadai. Inilah yang ditekankan oleh para ulama, karena ilmu dan kepahaman akan menentukan mutu analisis, pikiran, dan gagasan peserta syuro. Perlu diingat, ilmu bukan sekedar wawasan, tapi kepahaman dan didukung juga oleh rajahatul ‘aql (dominasi akal atas emosi), sehingga ide yang timbul kemudian tidak reaktf dan meledak-ledak. Ketiga, tradisi ilmiah dalam menyikapai perbedaan.

Ketiga faktor inilah yang kemudian menentukan fungsi instrumental syuro sebagai alat pengambil keputusan

Namun dibalik itu, syuro masih punya satu sisi lain; sisi psikologis, yang jika tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan perpecahan yang kontraproduktif dalam syuro. Sisi inilah yang di atas kita maksudkan dalam tradisi ilmiah, bagaimana syuro menjamin kemerdekaan setiap pesertanya untuk berekspresi secara wajar dan apa adanya.

sikap tidak melanggar adab majelis, kekanak-kanakan, apriori, ngotot, ngambek, dan menyudutkan, akan memancing peserta syuro lain untuk diam, tidak nyaman, dan tentu saja memecah ukhuwah yang akan menimbulkan keretakan dalam kehidupan berjama’ah.[2]

Pengertian Syuro

Secara bahasa terdiri dari tiga padanan kata SYURA; sesuatu yang wajib ditepati. ISTISYARAH; meminta pendapat. MASYURAH; memberikan pendapat. Sehingga secara bahasa dapat diartikan sebagai proses meminta dan memberikan pendapat, apabila sudah diambil sebuah keputusan maka kedua belah pihak wajib menepati dan melaksanakan semua keputusan tersebut dengan rasa tanggungjawab.

Syura juga berasal dari kata syara al-‘Asal, yang artinya ‘madu itu dibersihkan.’ Syurrat Ad-Daabah maknanya ‘engkau menarik seekor ternak untuk mengetahui atau menguji kekuatannya.’ Maka Asyura ialah menarik pendapat yang beragam dan berbeda-beda, lalu mengujinya untuk mendapatkan pemikiran yang lebih baik dan utama untuk dilaksanakan.[3]

Secara hukum syura berarti mencari kebenaran melalui kesungguhan dan kerja keras, komitmen terhadap manhaj Allah dengan tujuan meningkatkan ketakwaan.[4]

Secara Istilah ada empat padanan kata Syuro yaitu; tasyawur, masyurah, syura, istisyarah.

a. Tasyawur

Istilah ini lebih luas dari dan umum dari istilah lainnya, yaitu setiap dialog bebas diantara individu atau jamaah terhadap suatu masalah yang membutuhkan ketetapan.[5]

b. Masyurah

Pendapat yang dikemukan oleh seorang alim atau ahli fiqih (faqih) baik sendirian ataupun bersama-sama dalam urusan agama yang lebih sempit yang dinamakan fatwa.[6]

c. Syuro

Adalah arti sempit dari tasyawur yang menjadi suatu jalan untuk mendapatkan solusi dan keluarnya ketetapan jamaah mengenai berbagai urusan dalam jamaah yang bersifat umum.[7]

d. Istisyarah

Pendapat yang dikemukakan oleh seorang alim atau ahli Fiqih (Faqih) baik sendirian ataupun bersama-sama dalam urusan-urusan muamalah baik berupa urusan politik, social ataupun militer. [8]

Urgensi Syura

1. Mengaplikasikan salahsatu sifat orang-orang beriman:”Dan mereka bermusyawarah atas urusan mereka,”

2. Komitmen atas kewajiban Islam. “karena itu maafkanlah mereka, mohon ampunkanlah bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (Ali Imran: 159)

3. Mengaplikasikan system Islam dan keunggulannya dalam kehidupan individu dan jamaah.

4. Mengajar jamaah, mendidik umat dan mempersiapkan mereka untuk menata kehidupan manusia kepada jalan yang lurus, serta mampu memikul tanggungjawab.

5. Menghindari terjadinya sifat otoriter dalam proses pengambilan keputusan penting yang memiliki pengaruh signifikan dalam masyarakat.

6. Adanya ketenangan atas semua orang bahwa mereka berada di atas jalan yang lurus. [9]

Hukum Syuro (Batasan dan Sifat-Sifat Syuro)

Landasan dalam Alqur’an

Prinsip Syuro ada dalam Alqur’an baik pada periode Makkiyah dan Madiniyyah. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa syuro berlaku pada setiap periode dan kondisi dakwah baik pada masa pertumbuhan ataupun masa perkembangan dan stabil. Beberapa ayat Al Qur’an yang menunjukkan hal ini akan adalah sebagai berikut :

a. Ayat Makkiyah, Surat Asy-Syura: 38

“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah diantara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada Mereka”

b. Ayat Madaniyah, Surat Ali Imran: 159

“Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu, …”

Dari kedua ayat yang mulia ini tampak sejauhmana Al Qur’an memperhatikan terhadap penetapan mabda’ Syura. Allah mewajibkan sejak dakwah Islam di mulai di Mekah sebagai manhaj dalam rangka mendirikan masyarakat Islam dan sebagai Kaidah system social dalam Islam. Kemudian Al Qur’an mengulangi pengukuhan mabda ini di Madinah, setelah kaum Muslimin mempunyai Negara yang merdeka. Pada saat itu Syura dijadikan fondasi sistem pemerintahan atau sistem konstitusional.

Tinjauan Kedua Ayat Secara Umum :

1. Salah satunya turun di Mekah dan salahsatunya sturun di Madinah. Dalam hal ini ada isyarat yang jelas mengenai keuniversalan mabda syura bagi setiap manajemen masyarakat Islam di seluruh tahapannya, bagaimanapun kondisinya tempatnya dan hubungan dengan masyarakat lain, demikian pula baik jamaah itu sekedar golongan minoritas tertindas ataupun mayoritas yang diatur oleh suatu Negara merdeka.

2. Ayat pertama yang ditujukan kepada kaum Muslimin umumnya sebagai individu-individu di dalam masyarakat dan menuturkan sifat-sifat mereka serta cirri-ciri khas yang membedakan masyarakat mereka. Yaitu

a. Kesatuan Aqidah dan Ibadah

b. Kegotongroyongan dalam berbagai urusan mereka yang bersifat umum melalui musyawarah, tukar pendapat dan jaminan dalam infak, serta segala macam yang dimaksud dalam hal tersebut baik seperti solidaritas mereka dan kemananggulan mereka atas dasar kebebasan yang sempurna dan persamaan yang adil.

Adapun Firman yang kedua ditujukan kepada Rasulullah setelah berhasil mendirikan negaranya yang merdeka di Madinah dengan pimpinan beliau. Ayat kedua ini memerintahkan kepada beliau, sebagai kepala Negara yang baru berdiri sekaligus sebagai penguasanya, agar syura dimana individu-individu telah terdidik sebelum didirikan Negara, menjadi dsar hubungan penguasa dengan rakyat dan individu masyarakat, kendatipun penguasa itu adalah seorang nabi yang diutus dan menerima wahyu dari langit.[10]

Pelajaran dari Surat Asy-Syura

1. Diturunkannya surat ini di Mekah sebelum Hijrah dan sebelum didirikan Negara Islam mempunyai tujuan bahwa syura merupakan salah satu sifat istimewa bagi kaum muslimin. Disamping percaya kepada Allah, mendirikan shalat dan saling menjamin dalam infak. Hal ini menjadikan mabda syura merupakan fondasi pendidikan social bagi individu-individu berikut berbagai macam prakteknya, menjadi wajib atas mereka dalam semua kondisi. Sehingga seandainya tidak ada manajemen politik, pemerintahan ataupun Negara, syura tetap berlaku.

2. Syura sebagai sifat ketiga bagi masyarakat Islam, dituturkan setelah iman dan shalat. Hal ini memberikan pengertian bahwa syura mempunyai martabat sesudah ibadah terpenting, yaitu shalat, sekaligus memberikan pengertian bahwa syura merupakan salah satu ibadah yang tingkatannya sama dengan shalat dan zakat. Maka masyarakat yang mengabaikannya dianggap sebagai masyarakat yang tidak menetapi salah satu ibadah. Sebagaimana dituturkan sebelum infak menjadikannya sebagai dasar bagi hubungan harta, ekonomi dan kerjasama dalam infak atas berbagai kepentingan umum dan penghidupan masyarakat. Hal ini dipahami dari nash ayat. Karena pronomina (kata ganti) yang dipakai kembali kepada orang-orang yang memenuhi panggilan Tuhan mereka, yaitu jamaah Muslimin. Sedangkan perkara yang wajib dikerjakan dengan syura ialah perkara jamaah ini, yang mencakup segala urusan mereka. Jadi artinya,” dan segala urusan mereka itu dimusyawarahkan diantara mereka.”

3. Ketika diturunkan ayat ini kaum muslimin masih merupakan individu-individu yang hanya disatukan dengan kalimat,”bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya.” Sementara mereka berkumpul untuk menunaikan shlat dalam keadaan takut dan khawatir. Maka Allah menghendaki agar musyawarah dan tukar pendapat diantara mereka sebagai permulaan perjalanan untuk mewujudkan masyarakat baru yang berbeda dengan masyarakat jahiliyah.[11] Selain itu, agar mabda syura merupakan subatansi utama masyarakat ini dalam tahapan pengadaannya, dan yang pertama-tama yang harus ditepati oleh individu-individunya dalam fase tarbiyah dan pengaderan supaya mereka menjadi benih umat Islam yang memiliki solidaritas, gotong-royong dan saling menolong.

4. Ungkapan dalam ayat ini bersifat umum, yang dimaksud adalah keseluruhan jamaah dengan segenap individu, golongan, kelas dan organisasinya. Bukan hanya para penguasa semata-mata. Ini suatu bukti bahwa umatlah yang diwajibkan menepati syura, dan umat harus menekannya pada para penguasa yang telah mereka pilih untuk mengatur urusan mereka. Jadi, berpacu menegakkan syura harusnya datang dari individu-individu umat dan khalayak. Tidak cukup hanya menunggu para penguasa sampai mereka menyelenggarakannya. Dengan demikian syura merupakan tanggungjawab bersama seluruh pribadi masyarakat. Dosa yang disebabkan tidak mempedulikannya akan menimpa kepada umat secara keseluruhan.

5. Menemukan syura sebagai fondasi untuk mewujudkan jamaah yang baru ini. Belum mempunyai Negara dan system politik, sebenarnya menjadikan tukar pendapat dan peran serta positif bagi setiap individu mengenai urusan-urusan jamaah dan seluruh masalahnya sebagai tali hubungan yang kokoh yang menyambung antara jamaah dengan individunya dan menjadi dasar keanggotaan dan loyalitas mereka kepada masyarakat itu. [12]

Beberapa Pelajaran dari Surat Ali Imran

1. Ayat ini ditujukan kepada Rasulullah yang mulia, yang Allah telah memilihnya untuk menyampaikan risalah-Nya. Rasul yang menerima perintah-perintah dan pengarahan-pengarahan ilahiyah melalui wahyu Al Qur’an. Kendati syura belum dibutuhkan karena wahyu telah menjamin, membimbing dan mengarahkankannya, namun Allah Swt berkehendak menjadikannya ikutan, dan menjadikan syura sebagai peraturan yang diwajibkan atas generasi-generasi berikutnya, dan atas orang-orang yang dating sesudah mereka, yaitu mengatur berbagai urusan kamum muslim, yang lebih membutuhkan syura dari beliau, karena tidak menerima wahyu dari langit.

2. Ayat ini turun setelah perang Uhud. Para ahli tafsir dan Sejarah Nabi telah bersepakat bahwa Rasul Saw benar-benar bermusyawarah dengan para sahabat sebelum berperang. Beliau berpendapat tidak usah keluar dari kota Madinah dan bertahan di Madinah, karena ketentuan itu memungkinkan mereka menghancurkan pihak penyerang dengan mudah. Tetapi mayoritas sahabat, karena dorongan semangat, menekankan agar keluar dari Madinah untuk menghadapi musuh supaya tidak ditafsirkan mereka takut menghadapi musuh lantaran tidak keluar. Maka Rasulullah Saw menuruti usulan mayoritas. Kebetulan hasil pertempuran itu malapetaka bagi kaum Muslimin, maka orang-orang khawatir dan menduga bahwa hal itu akan menjadi sebab Rasulullah Saw tidak mau lagi bermusayawarah dan tidak mau lagi menyetujui pendapat mereka[13] Oleh karena itu maka datanglah nash ayat yang mulia untuk menghilangkan keraguan ini dengan mewajibkan Rasulullah agar mengampuni apa yang terjadi dari kelompok terbanyak dan agar terus menjalankan musyawarah dan konsisten dengannya. Nashnya pun tegas dan mantap karena datang dalam bentuk perintah dan menetapkan. Yaitu firman Allah;” bermusyawarahlah dengan mereka tentang perkara tertentu.”

3. Ayat ini tidak hanya menjadi dasar kewajiban bagi Rasulullah Saw menetapi syura, tetapi juga memiliki pengertian bahwa seluruh generasi yang datang sepeninggal beliau agar berjalan atas metode beliau dalam hal menetapi prinsip syura, sebagai Sunnah Nabi yang tetap di samping syura sebagai mabda’ Al Qur’an dengan nash yang tegas. Dengan demikian, syura menjadi fondasi setiap system yang berorientasi kepada Islam atau menegakkan syiarnya ataupun menetapi syariatnya, baik system politik, ekonomi, sosial dan lainnya.[14]

Landasan dalam Sunnah

1. Rasulullah saw meminta saran dan pendapat sahabat-sahabatnya dalam menerima tawaran tebusan tawanan Badr.

2. Dalam perang khandaq (ahzab), Rasulullah saw bermusyawarah dengan Sa’ad dalam proses perjanjian damai dengan suku Ghathafan dengan balasan setengah hasil kebun kota Madinah.

3. Rasulullah saw juga bermusaywarah dengan pasukannya dalam kasus pembagian ghanimah (harta rampasan perang) Hawazin seusai perang Hunain. Ketika itu, utusan dari Hawazin dating kepada Rasulullah saw untuk meminta jatah ghanimah. Beliau melontarkan masalah ini kepada para pahlawan perang untuk dimusyawarahkan. Beliau menyatakan persetujuannya yang diikuti kaum Muhajirin dan Anshar. Namun tidak disetujui oleh al-Aqra’ bin Habis dari bani Tamim dan al-Abbas bin Mirdas dari bani Salim. Rasulullah berkata kepada utusan tersebut, “Sesungguhnya kami tidak tahu siapakah yang mengabulkan permintaan kalian diantara orang-orang yang tidak menyetujuinya.kembalilah kalian sehingga pemimpin kalin membicarakan hal ini kepada kami. Merekapun kembali dan menyampaikan keputusan tersebut kepada pemimpin mereka. Setelah itu kembali kepada Rasulullah saw dan menyampaikan padanya bahwa pemimpin mereka menyetujui keputusan itu.”(Fathul Bari, Syarah Shahih Bukhari)

4. Rasulullah saw bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam menentukan cara mengajak kaum Muslimin untuk menunaikan shalat. (lihat kisah awalnya adzan dikumandangkan)

5. Beliau juga bermusyawarah dalam masalah peperangan, kesepakatan pembagian ganimah, perkara social politik. Seluruh masalah ini adalah unsur-unsur mendasar bagi sebuah Negara Islam.[15]

Landasan contoh Syura Khulafaur Rasyidin

1. Abu Bakar bermusyawarah dengan para sahabat tentang warisan seorang nenek, dan ketika Mughirah bin Syu’bah mengatakan bahwa ia pernah mendengar hukum tentang hal itu dari Rasulullah saw yang disaksikan oleh beberapa orang sahabat, Abu Bakarpun mengikuti nash tersebut.

2. Tatkala beberapa sahabat mengusulkan perlunya penentuan gaji Abu Bakar sebagai Khalifah, masalah inipun kemudian dilontarkan kepada sahabat lainnya dan ahlul masjid yang selanjutnya menyepakati gaji beliau sebesar 3 dirham perhari.

3. Umar bin Khattab bertekad untuk memimpin pasukan perang kaum Muslimin menuju Persia dan mengajukan keinginan tersebut untuk dimusyawarahkan, ternyata mayoritas kaum Muslimin menginginkan agar beliau tetap di Madinah dan diwakili oleh Sa’ad bin Abi Waqqash.

4. Umar Ra juga meminta saran dan masukan kepada para sahabat tentang hukuman bagi peminum Khamr dan keinginannya untuk memperberat hukuman itu dengan 80 kali cambukan.

5. Umar bin Abdul Aziz membentuk suatu badan Majlis Syura yang terdiri dari 77 orang dari kalangan fuqaha, ulama dan hakim dan ia tidak memutuskan satu perkarapun selain meminta izin kepada mereka.[16]

System Pengambilan Kebijakan di dalam Dakwah adalah :

1. Syura

2. Hurriyah (kebebasan)

3. Musawah (persamaan)

4. ‘adl (Adil)

5. Ta’ah (Ketaatan)

6. Amar Ma’ruf Nahyi Mungkar (memerintahkan kebajikan dan mencegah kemungkaran)[17]

Bahaya Otoriter dan Individualis

Pengertian Otoriter dan Indiviualis
Secara terminology, otoriter berarti menguasai atau mendominasi. Sifat otoriter dan Individualis dalam menetapkan keputusan ibarat dua sisi mata uang. Keduanya saling mendukung satu sama lain. Maka, sifat otoriter menimbulkan perilaku individualis dalam pengambilan keputusan atau kebenaran opini dan pendapat hanya ada pada dirinya saja. Kandungan hikmah, kelurusan dan kebenaran hanya yang terucap dari mulutnya.[18]

Fir’aun Contoh Konkrit Sifat Otoriter dan Individualis

Hal ini termaktub dalam Al Qur’an Surat Al Mukmin:29

“(Musa berkata),’Fir’aun berkata,”Aku tidak mengemukakan kepadamu, melainkan apa yang aku pandang baik dan aku tiada menunjukkan kepadamu selain jalan yang benar.”

Apakah Sifat Otoriter Warisan atau Muktasab (Perolehan)

Tidak ada bukti empiris sifat otoriter diturunkan secara keturunan. Walaupun keturunan orang yang otoriter berpeluang sangat besar menjadi otoriter. Namun ada banyak hal yang membuktikan bahwa sifat ini lebih berpeluang sebagai akhlak muktasab bila orang itu hidup di tengah lingkungan yang demikian otoriter.

Setiap orang pada dasarnya tidak mempunyai sifat otoriter, namun ia mendapatkannnya dari-teman-teman selingkungannya. Sifat otoriter ini juga bisa muncul dari system manajemen yang ekslusif, sehingga ia merasa dialah pemegang kekuasaan sepenuhnya. Merasa memiliki pendapat yang paling benar yang harus diterima semua pihak. Sehingga timbullah sikap despotisme (kesewenang-wenangan) secara perlahan sifat otoriternya akan semakin mengental, hingga sampai merasa ia paling benar dan setiap orang yang menentang lari dari kebenaran dan harus dihabisi. Akhirnya ia menjadi tiran. Seperti Fir’aun yang dinyatakan oleh Allah Swt dalam AlQur’an :

“Maka, Fir’aun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu patuh kepadanya.” (Az-Zukhruf: 54)[19]

Bahaya Otoriter dan Individualis

1. Walaupun seseorang diberi akal yang cerdas dan cemerlang, maka akan selalu ada sesuatu yang tidak diketahuinya. Bila ia tetap mempertahankan pendapatnya yang mengandung kelemahan dan kekurangan serta akibat buruk, maka sikap otoriter seperti itu akan menimbulkan bencana bagi orang lain.[20]

2. Seseorang yang selalu ingin pendapatnya diterima dan bersikukuh mempertahankannya, secara perlahan akan menjelma menjadi sosok tiran dan otoriter, sehingga ia menyerupai Fir’aun dimana sifatnya itu membuatnya berkata, “Akulah tuhanmu yang maha tinggi.” Atau berkata seperti apa dikatakan tiran besar ini kepada para penyihirnya yang sujud dan berserah diri kepada Allah Swt, setelah melihat mukjizat Nabi Musa yang diberikan Allah Kepadanya. “kalian beriman kepadanya sebelum aku mengizinkan kalian untuk itu ?”

Ia pun akhirnya mengancam akan memotong kaki dan tangan mereka secara bersilang dan menyalibnya di batang pohon korma. Ia semakin menunjukkan ketiraniannya seraya berkata,”Dan kalian akan mengetahui siapakah diantara kita yang lebih pedih dan lebih kekal siksanya.”[21]

3. Munculnya pendapat Individualis dan otoriter akan melumpuhkan kekuatan akal orang lain, kemampuannya dalam berpikir dan lenyapnya daya saring terhadap berbagai pendapat yang beragam. Inilah yang menyebabkan hilangnya daya pikir kreatif, inovatif, lurus dan bermanfaat di tengah masyarakat. Inilah kerugian besar yang menimpa umat ini setelah kebaikan-kebaikan itu semakin punah.[22]

4. Sebagian orang merasa tidak perlu ada loyalitas terhadap masyarakat di mana kita berada. Itu menyebabkan terjadinya penyimpangan dan kerusakan perilaku pada sebagian mereka, yang menyebabkan munculnya bencana besar di tengah mereka.[23]

5. Kesibukan manusia pada hal-hal yang sekunder dan remeh-temeh menyebabkan munculnya kekosongan jiwa. Ini adalah awal bencana dan malapetaka. Sifat otoriter dapat terjadi pada seseorang, kelompok, atau partai tertentu, maka bisa dikatakan sebagai dictator pribadi, partai atau kelompok. Sebagaimana disebut sebagai dictator proletar (dalam kalangan pekerja).[24]

6. Apabila hasil yang diperoleh dari sebuah keputusan yang tidak terbantahkan itu buruk, maka cemoohan, makian dan hinaan mengarah pada satu titik, yaitu pemilik opini tersebut. Hal itu akan mengakibatkan hilangnya kepercayaan setiap orang padanya, sehingga ia tidak mampu mengawasi segala aktivitas yang berada di bawah kepemimpinannya.[25]

Cara menjauhkan Diri dari Sifat Diktator dan Individualis

1. Merupakan tanggung masyarakat seluruhnya untuk menterapi penyakit ini

2. Menyadari bahwa kisah akhir dari para tiran adalah kisah yang tragis

3. Mengikuti manhaj Islam dan selalu musyawarah dalam pengambilan semua keputusan dan menganggapnya sebagai kewajiban kepada Allah Swt.[26]

Mengelola Ketidaksetujuan Terhadap Hasil Syuro

Terakhir, mari kita berbicara tentang ketidaksetujuan terhadap hasil syuro. Seringkali kita menghadapi keadaan di mana keinginan pribadi bertentangan dengan hasil syuro. Pendapat yang kita yakini bertolak belakang dengan syuro. Ini adalah ujian yang menuntut keikhlasan dan kesabaran ekstra. Sangat tidak mengenakkan untuk tunduk dan patuh pada keputusan yang tidak sejalan dengan kita.

Namun ada beberapa hal yang mesti kita perhatikan :

· Apakah benar kita telah menguji pendapat kita secara ilmiah, atau itu hanya lintasan pikiran?

· Kalau kita berani jujur, apakah pendapat kita adalah obsesi pribadi jiwa kita, atau memang kebenaran objektif? Apakah kita menganggap diterima atau tidaknya usulan kita sebagai sebuah hal menang-kalah?

· Seandainya kita memang percaya benar akan niat dan ketepatan perkiraan kita secara ilmiah, maka ingatlah; “mempertahankan kesatuan dan keutuhan shaff jama’ah jauh lebih utama daripada memenangkan pendapat yang amat tepat sekalipun.

· Sesungguhnya dalam ketidaksetujuan ada pelajaran berharga tentang keikhlasan, makana iman, tajarrud dari hawa nafsu, makna ukhuwah dan persaudaraan, makna tawadhu’ dan kerendahan hati, dan makna tsiqoh kepada jama’ah. Seperti kata Imam Syafi’i; “Pendapatku benar, tapi ada kemungkinan salah. Dan pendapat mereka salah, tapi bisa jadi benar...”[27]

Sesungguhnya perbedaan adalah kekayaan dalam hidup berjamaah, menikmatinya berarti meneguk kekayaan tersebut. Dan jikalau ada kesalahan dalam keputusan, maka kesalahan itu akan dapat direduksi, mudah diketahui sebab-sebabnya, ditanggung bersama, tidak menyebabkan kelemahan kolektif, dan itu lebih diridhoi oleh Allah SWT.

“Wahai orang-orang beriman, bersabarlah...,dan bersabarlah, dan bersatulah agar kamu menjadi kaum yang menang” (QS Ali Imran ; 200)

Pentingnya Amal Jama’I dalam setiap melakukan Pekerjaan

Pentingnya peranan Syura memberikan penekanan penting bagi kita untuk melakukan amal Jamai antara Qiyadah dan jundiah dalam suatu Jamaah Dakwah. Unsur-unsur yang ditekankan pada amal Jamai itu adalah berlandasaskan keimanan, amal shaleh dan saling menasehati dalam menetapi kebenaran dan kesabaran. Sebagaimana yang dijelaskan firma Allah:

“Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat-menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Al-’Ashr : 3)

Wallahu’alam


[1] Mengenai efektivitas, saya ingin menambahkan bahwa hal ini terkait erat dengan efisiensi. Efektifitas dalam kaidah bahasa Indonesia dinamai mangkus; berhasil-guna berbicara tentang efek, hasil yang diraih. Sedangkan efisiensi adalah sangkil; berdaya-guna. Titik tekannya adalah pemberdayaan potensi seoptimal mungkin. Mencapai sasaran dengan akurat dan telak.

[2] M.Anis Matta, Menikmati Demokrasi Cetakan kedua (Jakarta:Pustaka Saksi,2007), hal. 85-88

[3] Prof. Dr. Taufik Yusuf Al-Wa’iy, Kekuatan Sang Murabbi Cetakan Kedua (Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat, 2004), hal. 149.

[4] Ibid,.

[5] Dr.Taufiq Asy-Syawi.Syura Bukan Demokrasi Cetakan Pertama (Jakarta: Gema Insani Press,1997), hal. 130

[6] Ibid,hal. 131

[7] Ibid

[8] Ibid

[9] Prof. Dr. Taufik Yusuf Al-Wa’iy, Kekuatan Sang Murabbi Cetakan Kedua (Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat, 2004), hal. 156-157

[10] Dr. Taufiq Asy-Syawi, Syura Bukan Demokrasi Cetakan Pertama (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hal. 66-67

[11] Sehubungan dengan ini Sayyid Qutb berkata,” turunnya ayat ini di Mekah memberi isyarat bahwa kedudukan syura dalam penghidupan kaum Muslimin lebih penting dari sekadar system politik Negara. Syura adalah corak asasi bagi jamaah seluruhnya yang urusannya ditegakkan diatasnya sebagai jamaah. Lalu pindah ke Negara sebagai sesuatu yang tumbuh secara alamiah bagi jamaah (Fi Zhilalil Qur’an, juz V: Surat Asy-Syura).

[12] Dr. Taufiq Asy-Syawi, Syura Bukan Demokrasi Cetakan Pertama, Op.Cit., hal. 67-69

[13] Fi Zhilalil Qur’an, Sayyid Quthb (IV/119) cetakan keenam; dan tafsir Al-bahrul Muhith oleh Ibnu Hayyan; Dr. Ahmad Syauqi al-Fanjari dalam kitabnya; Al-Hurriyah As-Siyasiyah fil Islam, hal. 213

[14] Dr. Taufiq Asy-Syawi, Syura Bukan Demokrasi Cetakan Pertama, Op.Cit., hal.69-70

[15] Prof. Dr. Taufik Yusuf Al-Wa’iy, Kekuatan Sang Murabbi, Op.cit., hal. 154

[16] Ibid., hal. 155-156

[17] Dr.Utsman Abdul Mu’iz Ruslan, Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin Cetakan pertama (Solo: Era Intermedia, 2000), hal. 324.

[18] Prof. Dr. Taufik Yusuf Al-Wa’iy, Kekuatan Sang Murabbi Cetakan Kedua (Jakarta: Al-I’thishom Cahaya Ummat, 2004), hal. 144

[19] Ibid, hal. 144-145

[20] Ibid., hal. 146

[21] Ibid., hal. 146-147

[22] Ibid., hal. 147

[23] Ibid.,

[24] Ibid.,

[25] Ibid., hal. 147-148

[26] Ibid., hal. 148

[27] M.Anis Matta, Menikmati Demokrasi Cetakan kedua (Jakarta:Pustaka Saksi,2007), hal. 91-95


0 Response to "URGENSI SYURO DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN"

Posting Komentar