Zaim Saidi - Direktur Wakala Induk Nusantara
Dengan sering terjadinya transaksi dengan dinar emas atau dirham perak timbul persoalan cara penetapan harga barang dan jasa. Untuk sementara nilai yang tak bulat selisihnya dibayar dengan rupiah.
Dalam masa transisi saat ini, dengan berlakunya dua jenis alat tukar, yakni mata uang kertas dan dinar dirham, secara spontan kita memang masih akan berpikir dalam kaca mata uang kertas. Dalam menakar harga atau nilai suatu barang dan jasa pertama-tama kita masih akan merujuk kepada harga dan nilainya dalam rupiah (atau mata uang kertas lainnya), baru dikonversi ke dalam nilai dinar atau dirham. Maka, angkanya tidak selalu pas bulat, tapi berselisih. Sebagai contoh harga tiga loyang kue yang harganya @ Rp 50.000/loyang bila dibayar dengan khamsa (dengan nilai tukar saat ini sekitar Rp 146.000) perlu ditambah dengan uang kertas Rp 4.000. Begitu sebaliknya, bila harganya di bawah nilai dinar atau dirham, maka diberikan kembalian dalam uang kertas.
Dengan berlalunya waktu dan semakin terbiasanya kita bertransaksi dalam dinar atau dirham dengan sendirinya cara penetapan nilai akan langsung dikaitkan dengan dinar dan dirham. Inilah cara yang sesuai dengan fitrah, ketika nilai dan harga barang serta jasa, didasarkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar, pertemuan pasokan dan permintaan. Dengan uang kertas hukum pasar tidak berjalan, karena nilai sesuatu telah dirusak oleh nilai nominal uang kertas, yang dipaksakan oleh hukum negara. Dengan dinar dan dirham maka pertukaran barang atau jasa akan terjadi bersesuaian dengan nilai tukar suatu komoditas (atau jasa) tersebut dengan nilai tukar komoditas lain yang digunakan sebagai alat tukar, dalam hal ini (dinar) emas dan (dirham) perak. Sambil kita berproses kembali menuju mekanisme fitrah ini, ada baiknya kita merujuk kembali pada pengalaman empiris di berbagai tempat dan waktu, dengan sejumlah contoh komoditas dan jasa dalam ukuran dinar emas atau dirham perak. Contoh dan bukti paling otentik yang bisa kita temukan, tentu saja, adalah dari hadits Rasulullah SAW sendiri, yang menginformasikan pada kita bahwa harga seekor kambing di Madinah, di abad ke 7 M, adalah 0.5-1 dinar. Dari riwayat lain, dari Umar bin Khattab, kita mengetahui bahwa harga seekor ayam, juga di Madinah, adalah 1 dirham. Informasi lain yang bisa didapat adalah Khalifah Umar bin Khatab memberikan upah seorang guru, di Madinah, sebesar 4 dinar/bulan.
Bagaimana dengan barang atau jasa yang lain, di tempat berbeda, di masa-masa sesudahnya? Semakin banyak dokumen sejarah yang kita buka akan semakin banyak pula informasi yang dapat kita peroleh dalam soal nilai tukar dinar dan dirham ini. Sekadar sebagai contoh di sini disajikan beberapa jenis komoditas dan jasa dalam dua rentang waktu berbeda, yakni di zaman Mamluk (abak ke-14 M) dan zaman Utsmani pertengahan (abad ke-16 M). Di zaman Mamluk, di ibukota Kairo, misalnya, pada tahun 1382 M, harga 1 irdabb (96 mud, 24 gantang, sekitar 49 liter) kacang polong adalah 22 dirham, 1 irdabb tepung terigu adalah 30 dirham, 1 ratl (sekitar 0.5 kg) roti adalah 0.5 dirham, dan 1 ratl daging sapi adalah 4/5 - 2 dirham.
Kita beralih ke Damaskus dan wilayah Utsmani lainnya, pada tahun 1539, untuk tingkat upah beberapa jenis jasa. Upah seorang teknisi dengan pekerjaan merawat saluran dan kran-kran air adalah 3 dirham/hari. Upah seorang guru sekolah kanak-kanak adalah 5 dirham/hari. Pegawai klerikal rendahan, seperti sekretaris atau kasir, mendapatkan upah 2 dirham/hari, tingkat upah yang sama dengan yang diterima oleh asisten juru masak, petugas gudang, dan muazin. Seorang kuli pengangkut barang-barang di madrasah dibayar 1 dirham/hari. Para khatib dan imam di masjid-masjid mendapat imbalan setara dengan seorang guru sekolah dasar, yakni 5 dirham/hari. Beberapa pegawai klerikal menengah, seperti sekretaris tinggi dan petugas pengelola wakaf, memperoleh upah sebesar 6 dirham/hari.
Dari data-data di atas dapat kita perkirakan bahwa upah rata-rata pegawai menengah pada abad ke -16 di Damaskus adalah 2 dirham, atau setara Rp 60.000 per hari, setara sekitar Rp 1.8 juta/bulan, hampir dua kali lipat rata-rata UMR (Upah Minimum Regional) di Jabodetabek saat ini. Sementara upah guru di Madinah adalah 4 dinar setara Rp 6 juta saat ini, atau 5 dirham di Damaskus setara Rp 150.000/hari, atau Rp 4.5 juta per bulan. Daging sapi di Kairo 4/5-2 dirham/0.5 kg, setara Rp 45.000-Rp 110.000/kg.
Apa yang dapat kita simpulkan dari sejumlah informasi di atas? Semuanya mengonfirmasikan kepada kita bahwa dinar emas dan dirham perak tidak mengenal inflasi. Sepanjang zaman, di mana pun, harga komoditi dan jasa hampir tidak berubah bila ditakar dengan emas atau perak. Dinar dan dirham tak mengenal inflasi. Harga barang dan jasa dapat dibeli dengan tingkat harga yang stabil. Bahkan, pengupahan atau jual-beli, dengan dinar dan dirham, secara umum terlihat memberikan situasi yang lebih baik bagi setiap orang. UMR yang telah tercapai di abad-abad lampau, misalnya, jelas sudah jauh lebih baik daripada tingkat UMR kita hari ini. Jadi, perbanyaklah transaksi sehari-hari Anda, baik untuk jual beli, sewa menyewa, maupun pengupahan, lakukan dengan dinar emas atau dirham perak.
Sumber: www.wakalanusantara.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Stabilitas harga dalam Dinar Dirham"
Posting Komentar