Memberantas Jenak-Jenak Sekulerisme dalam Benak Kita
“Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama[1258]. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”. (Fathir 35:28)
[1258]. Yang dimaksud dengan ulama dalam ayat ini ialah orang-orang yang mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah.
Pada ayat di atas, ternyata yang dimaksud dengan ulama adalah orang-orang yang mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah. Ust Fahmi Alaydirus menafsirkan berarti ulama bukan hanya yang faham ilmu qauliyah saja, tetapi faham terhadap ayat kauniyah juga. “Itulah definisi ulama menurut Alquran”, kata beliau.
Berkaca pada sejarah Islam di Indonesia.
Jika kita lihat, perlawanan-perlawanan yang terjadi di Indonesia ini sering kali dilakukan oleh umat Muslim di Indonesia. Hal ini sangat diperhatikan oleh para penjajah. Kita tentunya tidak asing dengan nama ini, Snock Hurgronje. Entah mungkin nama ini ada hubungannya dengan pasukan Oranye di Piala Dunia atau tidak, tapi yang jelas orang yang satu ini adalah penasihat pemerintah Belanda untuk mematahkan perlawanan umat Islam di Indonesia. Antara lain Snouck menyarankan : “Yang harus ditakuti pemerintah bukanlah Islam sebagai agama, tetapi Islam sebagai doktrin politik”.Sehingga pemerintah tidak melarang ritual-ritual keagamaan tetapi sangat represif kajian-kajian pendalaman Islam secara menyeluruh. Ana jadi teringat apa yang dikatakan Ust Aam Amirudin bahwa dulu penjajah tidak melarang kita untuk membaca Alquran, tapi melarang kita untuk membaca terjemahan atau tafsir Alquran. Untuk apa? Agar umat Islam tidak mengerti kandungan Alquran. Karena kandungan Alquranlah yang akan membuat seseorang itu akan melakukan perlawanan. Konon kabarnya, di Indonesia juga muncul khutbah dalam bahasa Arab. Di satu sisi, terlihat hal ini sangat Islami, tapi disisi lain ini adalah suatu pembodohan karena dengan khutbah dalam bahasa Arab, jamaah tidak mengerti apa yang disampaikan Khotib.
Selain itu, pemerintah Belanda membangun paradigma bahwa pesantren hanya sebagai tempat mencari ilmu diniyah belaka dan mereka dibuat bangga dengan hal itu. Disisi lain, rakyat yang pintar dijauhkan dari agama sehingga kepintarannya tidak dibingkai dengan nilai-nilai ilahi. Makanya kedua kaum ini sulit bersatu karena di satu sisi, kaum pesantrenan waktu itu menganggap diri mereka sebagai ahli syurga dan menghinakan kaum intelektual tadi sebagai pencari dunia. Disisi lain kaum intelektual juga tidak simpati terhadap kaum pesantrenan karena melihat pesantren yang begitu kotornya. Untuk apa mereka mengikuti suatu agama yang tidak memperhatikan kebersihan dan kesehatan, pikir mereka.
Di sisi lain, terjadi juga pembelokan sejarah Islam di Indonesia. Peristiwa-peristiwa bersejarah umat Islam tidak bisa menjadi kekayaan umat Islam sendiri karena sudah dicacati oleh para penjajah. Sewaktu SD mungkin kita pernah mendengar bahwa seorang sisingamangaraja dan pattimura bukanlah seorang muslim, padahal belakangan kita tahu bahwa mereka berdua adalah seorang muslim. Kita tahu bahwa seorang cut nyak dien adalah seorang muslimah, lalu kok kenapa gambar cut nyak dien digambarkan tidak berjilbab? Pangeran Diponegoro juga dikesankan memerangi Belanda karena tonggak-tonggak makam leluhurnya, padahal apakah mungkin seorang muslim menyatakan perang karena hal semacam itu? Itu pembelokan sejarah yang mungkin kita sendiri terkena dampaknya. Sehingga mungkin saja muncul di benak kita bahwa perjuangan Indonesia itu bukan atas jasa Islam sehingga kita tidak bangga dengan Islam dan tidak berkeinginan untuk mendalami Islam.
Islam itu integral
“Tidak ada dikotomi ilmu dalam Islam”, begitu ujar Ust Aam dalam khutbahnya. Ya, sesungguhnya tidak ada dikotomi antara ilmu qauliyah dan ilmu kauniyah. Kedua-duanya adalah ilmu Allah. Ilmu qauliyah adalah ilmu yang turun melalui wahyu Allah sedangkan ilmu kauniyah adalah ilmu yang tersirat dalam setiap ciptaan Allah. Barang siapa mempelajari ilmu Allah maka ujungnya adalah orang semakin takjub pada Allah dan berkata “Rabbana ma khalaqta haadza batila subhaanaka faqinaa adzaabannar”. Dan yang perlu dipahami bahwa bagi seorang muslim, mempelajari ilmu qauliyah adalah wajib hukumnya. Bagaimana mungkin bisa seorang muslim tidak mengetahui tatacara sholat, puasa dsb? Bagaimana mungkin seorang muslim tidak bisa membaca alquran?. Sedangkan hukum menuntut ilmu kauniyah adalah fardhu kifayah yang artinya wajib untuk satu kaum. Jika sudah ada cukup orang yang ahli dalam ilmu tersebut, maka gugurlah kewajiban kaum itu.Dan bagi orang yang diberi amanah untuk mempelajari ilmu kauniyah tersebut, maka hukumnya wajib. Jadi seorang mahasiswa Elektro, wajib hukumnya mempelajari keelektroan. Seorang mahasiswa Informatika, wajib hukumnya mempelajari keinformatikaan. Maka adakah alasan bagi kita untuk melalaikan kewajiban kita? Dan apakah mungkin suatu yang wajib tidak berpahala?
AF
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Memberantas Jenak-Jenak Sekulerisme dalam Benak Kita"
Posting Komentar