Izzah Seorang Muslimah

Izzah Seorang Muslimah


“Selamat Datang Di Kampus Perjuangan Dik”, sapa seniorku dengan penuh bangga saat aku dinyatakan lulus BK.

“Kampus Perjuangan, apa bener sih di ITS ini kuliahnya penuh perjuangan ??, ahk nggak usah dipikirin nanti kan juga akan terbukti sendiri”, gumanku dalam hati.

“Hei, ngelamun aja, nanti kerasukan makhluk halus penunggu gedung lho!!”, tegur shida.
“Afwan yaa, Aisy tuh nggak percaya sama yang namanya penunggu gedung,pohon atau apa lah, lagian apa kamu lupa sih sama materi mentoring kemarin!!!, hati-hati ukhtiii.. itu syirik lho”, jawabku seolah menggurui.

“Iya mbak Aisy, Cuma iseng koq, habis lihat kamu bengong sendiri dalam kelas, yaa tak godain”, sahut Shida.

Akh temenku yng satu ini selalu saja nggak bias ngelihat aku bengong, yaa mungkin itu pertanda rasa kasih sayangnya agar aku nggak terjebak pada “Thulul ‘akal” [panjang akal/angan].
Seandainya Shida tahu bahwa aku lagi mikirin makna “perjuangan” yang kulakukan menghadapi dilema yang melandaku kira-kira dia bias bantu nggak yaa??Akh paling-paling dia Cuma hanya jadi pendengar, karena dia mungkin nggak nyambung dengan yang kumaksud, Mending kau segera beranjak dan nyelesain tugas.


“Shida, yok balik aku belum ngerjain tugas nih!!”, ajakku sambil langsung menyeret dia pulang ke kost-kostan.

“Seorang muslimah yang memiliki izzah bukan berarti dia terkungkung dengan batasan-batasan yang seolah-menjadikan dia kuper dan dianggap eksklusif, tetapi bagaimana dia bisa bersabar mentaati aturan syariat berkaitan dengan pergaulan dan adab-adab prilaku yang mesti dia lakukan, tetapi disisi lain dia inklusif dan mengikuti perkembangan yang ada asalkan apa yang dijalaninya itu tidak melanggar syariat. Rasa Malu yang proporsional juga harus dimiliki, karena muslimah yang tidak punya rasa malu maka seolah dia telah menggadaikan izzahnya yang selama ini mendapat tempat terhormat dalam Islam”.

Ah…. pernyataan yang indah dan menyejukkan tapi cukup sulit aplikasinya, tetapi kata-kata itu selalu terngiang saat saudariku menyebutku “Ukhti Aisy”. Oh begitu dahsyatnya sebutan” Ukhti” yang mencerminkan keberadaan seorang muslimah yang sejati, namun begitu sulit aku menjalani konsekwensinya saat aku dipanggil dengan sebutan itu. Mungkin inilah perjuangan yang sebenarnya kuhadapi dikampus ini,saat aku harus bersabar menjaga izzahku sebagai muslimah ditengah terpaan keinginan untuk tidak malu berinteraksi dan berdiskusi kelewat lama denga partner kerjaku yang lain jenis, pulang malam dengan alasan ngikutin pelatihan di WET, BEM/SM atau Himpunan, bercanda dan tertawa lepas ditengah kerumunan banyak orang, dan entahlah kayaknya banyak hal yang telah kulakukan dan itu semua terjadi begitu saja dan sekali lagi apakah semua yang kulakukan itu menandakan aku masih belum punya rasa malu seperti yang dikatakan oleh kakak mentorku itu? Tetapi apakah bukan sesuatu yang wajar ketika aku berada dalam linkungan yang mayoritas laki-laki dan menyesuaikan diri dengan tuntutan dan kebiasaan yang sudah lazim.

“Adikku, jadilah ikan yang mengembara di lautan tanpa harus terpengaruh oleh rasa airnya yang asin, ndak apa-apa anti aktif dalam lembaga formal asalkan anti bisa menjaga dan mebawa diri, jadi akhwat itu kita harus menjaga izzah meski dikatakan seperti orang aneh biar saja, yang penting Allah ridho dengan apa yang kita lakukan” jawab Kak Icha saat aku konsultasi untuk bergabung dengan lembaga formal kampus.

Kak Icha memang tidak pernah melarangku berbuat sesuatu tetapi selalu memberiku rambu-rambu saat ada keinginan untuk melakukan hal yang dilarang. Tapi aku senang dengan sikapnya yang seolah menunjukkan kecintaan yang tulus pada saudari seimannya dan disinilah kurasa betul nikmatnya ukhuwah dalam Islam sehingga rasanya rugi jikalau seminggu saja kutak bertemu dengan temen-temen yang dipertemukan Allah karena iman.
Ah………. rasanya berat untuk menyakinkan bahwa keinginan untuk terlibat aktif dalam lingkungan yang banyak ikhtilat,maksiat dan perang pemikiran namun menjanjikan banyak pengalaman dan wawasan harus dibendung dan diganti dengan aktifitas yang lebih lebih terjaga dan terhormat namun kurang menjanjikan wawasan dan pengalaman yang ingin kucari.

“Ukhtifillah, jika kita lihat para shohabiah [sebagai teladan kita dalam bersyakhsiyah muslimah] mereka juga memiliki peran ganda yaitu peran domestik [sebagai istri dan ibu] dan peran publik [sebagai kholifah fil ard dan anggauta masyarakat]. Namun mereka sangat bijaksana menempatakan porsi keduanya dan tidak pernah melangar batasan-batasan yang mesti dipatuhi sebagai muslimah , sehingga tidak pernah kita dengar para shohabiah itu terbengkalai urusan rumah tangga dan anaknya meskipun dia memiliki kesibukan yang cukup tinggi dalam peran publiknya bahkan sayyidatina Aisyah dalam waktu yang relatif muda berhasil mendapatkan empat keahlian sekaligus sehingga dia dijuluki ahli hadist, ahli medis, ahli politik, dan ahli fikih sedangkan pada saat itu dia adalah ummul mukminin”.

Kembali kata-kata yang terucap saat materi “Syahsiyah Muslimah” minggu kemarin itu terngiang-ngiang dan seolah selalu menjadi pengingat saat ada keinginan untuk ikut dalam pemikiran Fatimah Fernisi dengan teori emansipasinya sehingga aku bisa bebas memilih aktifitas di kampus tanpa harus mengindahkan batasan-batasan yang harus kupatuhi sebagai seorang muslimah.

Sudahlah kuakhiri pergolakan batin dan pikiranku yang sempat mengganggu konsentrasi belajarku besok. Biarlah semua kupasrahkan kepada Allah, Insyaallah malam nanti kuadukan semua kegundahanku itu keharibaan ilahi agar aku dapat petunjuk yang terbaik.

“Yaa Allah jikalau aku yang merasa tersanjung dengan sebutan “ukhti” atau julukan “Akhwat” yang mencerminkan muslimah sejati maka ada dua hal yang kupinta dari-Mu beri aku keyakinan bahwa aku bangga dengan sebutan dan julukan itu sebagaimna aku bangga untuk menyebutkan bahwa aku sorang muslimah dan beri aku kesabaran untuk menjaga diri agar tidak melanggar batasan-batasan yang disyariatkan dalam Al-Quran dan Al-Hadist. Amiin”kututup doaku dengan sebuah azzam yang melekat kuat dalam dada. Kini terjawab sudah dilemma yang kuhadapi, perjuangan berat untuk mempertahankan izzah sebagai muslimah akan kumulai. Dengan penuh keyakinan dan hanya mengharap ridho Allah insyaallah tekadku bulat untuk selalu menjaga dan mentarbiyah diri menjadi muslimah sejati. Biarlah keinginan untuk mencari pengalaman dan wawasan yang ternyata dibarengi dengan prosesi ikhtilat dan kemaksiatan kupendam sampai saatnya aku bisa meraih semua keinginan itu tanpa harus melanggar batasan yang ada. Yaa memang perlu kesabaran karena perlu prosesi islah yang memakan waktu yang tidak sebentar. Wallahu a’lam bisshowab

Luluk

0 Response to "Izzah Seorang Muslimah"

Posting Komentar